Selamat Datang di Dunia Srikandi...........

Ide segar berbalut semangat revolusioner.......
semoga dapat menghilangkan dahaga....... ^^

Senin, 14 Mei 2012

Pemerintahan Daerah Indonesia


Istilah dalam Otonomi daerah

Definisi Otonomi Daerah menurut UU

Hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, sesuai peraturan per-UU-an.

Definisi menurut UNDP

Decentralized governance, when carefully planned, effectively implemented, and appropriately managed, can lead to significant improvement in the welfare of people at the local level, the cumulative effect of which can lead to enhanced human development. In addition, if decentralization involves real devolution of power to local levels, the enabling environment for poverty reduction is likely to be stronger. On the contrary, badly planned decentralization can worsen regional inequalities. Left to their own devices, richer regions are likely to develop faster than poor ones. And a system of matching grants, intended by central government to motivate local government to raise funds, typically exacerbates regional disparities.
Definisi UNDP tersebut menjelaskan bahwa ketika sebuah konsep Otonomi Daerah direncanakan dengan baik dan implementasinya bisa berjalan efektif, akan memiliki korelasi POSITIF terhadap peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat di daerahnya tersebut. Seperti berkurangnya angka kemiskinan penduduk.
Pun juga sebaliknya jika direncanakan dengan tidak matang maka pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat tidak akan semakin baik, daerah yang kaya akan semakin kaya dan pertumbuhannya pesat sedangkan daerah yang miskin akan miskin dan tertinggal. Sistem Desentralisasi pun akan memperbesar peluang pemerintahan daerah untuk meraih keuntungan atau laba sebesar-besarnya untuk memperkaya daerahnya. dll
Oleh karena itu Otonomi Daerah perlu dikawal oleh seluruh pihak untuk menjamin tercapainya pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.

Manfaat Desentralisasi

Hadiz (2003: 16)
  • Desentralisasi meningkatkan level transparansi dan akuntabilitas serta berkembangnya praktek good governance.
  • Kebutuhan daerah akan terpenuhi secara lebih baik sebagai akibat diberikannya otonomi.
  • Para penguasa akan dapat diawasi secara langsung oleh masyarakat setempat.
  • Inisiatif penduduk lokal dan kreativitas publik akan berkembang bebas karena mengendornya pengawasan Pusat yang terlalu kuat pada berbagai aspek kehidupan masyarakat

Desentralisasi vs Dekonsentrasi

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu

Otonomi Daerah vs Daerah Otonom

Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 
Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.

Daerah Otonom vs Wilayah Administratif

Daerah Otonom merupakan daerah, implikasi dari asas Desentralisasi  (hak atau wewenang mengatur dan mengurus sendiri urusan RT-nya).
Wilayah Administratif merupakan daerah, implikasi dari asas Dekonsentrasi (hak atau wewenang mengatur dan mengurus urusan Pemerintah Pusat di daerah; oleh aparat Pusat di daerah; dengan sumber daya Pusat di daerah).

Pemerintah Daerah vs Pemerintahan Daerah

Pemerintah Daerah adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang terdiri dari Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah.
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI.

Bentuk Otonomi

Ada dua macam bentuk otonomi daerah yang ada di Indonesia:
Pertama adalah Otonomi Luas, dimana penyerahan sebagian besar kewenangan pemerintahan kepada daerah otonom. Di Indonesia ini diberlakukan di tingkat Kabupaten dan Kota.
Kedua adalah Otonomi Terbatas, dimana penyerahan sebagian kecil kewenangan kepada daerah otonom. Di Indonesia ini diberlakukan di tingkat Provinsi.

Prinsip Otoda

Ada beberapa prinsip Otonomi Daerah yang menjadi keniscayaan dan landasan untuk menjalankan sistem otonomi tersebut:
o   Adanya perhatian yang lebih terhadap aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta tereksplorasinya potensi dan keaneka ragaman daerah.
Maksudnya adalah dengan diberikannya otonomi daerah maka sebuah daerah tersebut dapat melakukan pemilihan secara langsung oleh rakyat daerah terhadap pemerintah daerahnya tersebut, rakyat dilibatkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut, hal ini tentunya akan berimplikasi pada kehidupan politik masyarakat pada aspek demokrasi akan semakin meningkat karena partisipasi rakyat daerah dengan nyata akan dilibatkan.
Dengan adanya eksplorasi terhadap potensi dan keanekaragaman daerah jika dikelola dengan baik, maka akan memberikan kesempatan yang sama bagi tiap-tiap daerah untuk menikmati hasilnya tersebut.
  • Ada dua bentuk otonomi yang diberikan oleh pemerintahan pusat, pertama adalah Otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. Yang diberlakukan di daerah kabupaten dan kota, sehingga asas perbantuan yang akan digunakan oleh pemerintah terhadap pemerintahan daerah dan desa dalam menjalankan kebijakannya, sedangkan untuk provinsi diberlakukannya otonomi terbatas menganut asas dekonsentrasi terhadap urusan pemerintah pusat.
  • Tentunya hubungan antara pusat dan daerah, dan adanya kewenangan daerah tersebut mengelola daerahnya sehingga kemandiriannya sebagai daerah otonom akan meningkat, pun juga dengan pemerintahan di daerah peranan dan fungsinya akan meningkat, ini sesuai dengan konstitusi negara, sehingga terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.

Prasyarat Sukses Daerah Otonom[1]

  • Pemerintah daerah menjalankan fungsi fasilitasi.
  • Pemerintah daerah harus kreatif.
  • Politik lokal stabil.
  • Pemerintah daerah harus menjamin kesinambungan berusaha.
  • Pemerintah daerah harus komunikatif dengan ornop.

Indikator Keberhasilan OTDA

Berdasarkan atas ruang lingkup kewenangan yang diberikan terhadap pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya, maka ada beberapa hal yang dapat dijadikan indikator keberhasilan dari otonomi daerah adalah
o   Indikator di Sektor EKONOMI
o   Kita bisa melihat keberhasilan OTDA lewat meningkatnya pendapatan nasional perkapita.
o   Kemudaian pengurangan jumlah penduduk miskin. berkurangnya pula tingkat pengangguran.
  • Indikator di Sektor SOSIAL
    • Terpenuhinya kebutuhan tenaga ahli di bidang pendidikan dan sosial, adanya keseimbangan antara rasio guru terhadap murid dan rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk, dll.
  • Indikator di sektor PRASARANA DASAR
    • Semakin baiknya dan berkembangnya prasarana perhubungan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Isu-Isu Otonomi Daerah

Pemekaran Daerah[1]

Pemekaran daerah merupakan suatu langkah atau cara politik sebuah daerah dengan cara membagi atau memperluas sub bagian wilayah dari daerah tersebut baik bagian atau daerah yang berbentuk provinsi baru atau pun kabupaten baru. Tujuan dari dilakukannya upaya pemerintah dalam pemekaran daerah ini adalah tidak lain dengan meningkatkan berbagai pelayanan social yang diberikan dan meningkatkan kefektivan serta keefisiensian sebuah daerah dalam mengatur atau mengelola daerahnya baik dilihat dari sector perekonomian, politik serta pelayanan public untuk masyarakatnya.
Dalam Undang Undang otonomi daerah, wacana pemekaran tidak terlepas dari pemberlakuan prinsip-prinsip otonomi daerah. Hal ini menyimpulkan bahwa pada prinsipnya otonomi daerah merupakan media atau jalan untuk menjawab tiga persoalan mendasar dalam tata pemerintahan dan pelayanan terhadap publik. Sehingga banyak orang berasumsi bahwa pemekaran daerah merupakan langkah yang diambil setelah diberlakukannya otonomi daerah yang merupakan:
  1. pemekaran daerah yang dilakukan oleh pemerintah merupakan jalan atau upaya untuk mendekatkan pemerintah kepada rakyat.
  2. melalui pemekaran daerah juga harus tercipta akuntabilitas yang terjaga dengan baik.
  3. pemekaran daerah diformulasikan menjadi langkah untuk mengupayakan responsiveness, dimana publik berpartisipasi aktif dalam pengambilan kebijakan.

Tujuan pemekaran daerah

Bersdasarkan pasal 2 PP 129/2000 disebutkan ada beberapa tujuan dibentuknya sebuah daerah baru atau dilakukannya pemekaran daerah. Tujuan tersebut diantaranya: 
  1. meningkatkan kesejahteraan masyarakat
  2. meningkatkan pelayanan masyarakat
  3. mempercepat pertumbuhan demokrasi
  4. mempercepat pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah
  5. mempercepat pengelolaan potensi daerah
  6. meningkatkan keamanan dan ketertiban
  7. meningkatkan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah

Pembentukan pemekaran daerah dan daerah otonom

Pemekaran daerah dapat terjadi di setiap wilayah di Indonesia ini. Suatu daerah otonom dapat melakukan suatu pemekaran dengan menggunakan sebuah media yaitu melihat indikator keberhasilan pembangunan daerah selama penerapan otonomi daerah tersebut, yang telah berusia enam tahun ini, sekaligus dapat dijadikan sebagai dasar dalam melakukan pemekaran.

Indikator menilai kemajuan

Dalam implementasi struktur, fungsi dan tugas dalam kepemerintahan suatu daerah dapat ternilai apakah daerah tersebut mampu dalam menjalankan situasi, mengoperasikan serta meningkatkan pelayanan dalam daerah otonomnya. Penilaian ini dilakukan dengan melihat indikator yang secara sederhana dapat dikategorikan sebagai berikut:
  1. aspek ekonomi daerah. Indikator aspek ini akan menjawab seperti apakah nantinya kekuatan ekonomi dari daerah-daerah yang menjadi bagian dari wilayah yang hendak dimekarkan. Selanjutnya, potensi-potensi apa yang bisa dimaksimalkan dalam membangun ekonomi daerah. Ini perlu dilakukan, mengingat pertimbangan ekonomi adalah salah satu unsur utama didalam memandirikan suatu daerah. Sebab indikator ini menggunakan dasar penilaian dengan menggunakan dasar ”apakah pembangunan yang terjadi selama enam tahun terakhir ini adalah pembangunan yang merangsang pertumbuhan ekonomi di masyarakat lokal.” Hal ini perlu dijalankan dengan melakukan kajian mendalam, sehingga kelihatanlah seberapa besar pengaruh otonomi daerah, baik di tingkat kabupaten/kota maupun secara regional, untuk memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dengan demikian akan bisa kita ketahui bahwa apakah otonomi daerah selaras dengan upaya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.
  2. aspek pelayanan publik. Dalam konteks ini, harus dinilai seberapa dekat pemerintah daerah dengan masyarakat, yang tercermin dalam urusan-urusan pelayanan publik yang terbuka, efisien dan efektif. Apakah publik merasa dipuaskan melalui pelayanan pemerintah lokal, atau justru pemerintah lokal mengharapkan pelayanan dari masyarakat. Apakah mental-mental KKN dan primordialisme masih sangat kental dalam urusan-urusan publik. Masih terdapat ketidakadilan, kemudian politik kongkalikong di antara elit lokal masih kerap terjadi.
  3. aspek pembangunan demokrasi politik. Menjadi penting juga mengkaitkan antara pelaksanaan otonomi daerah dengan upaya-upaya pelembagaan demokrasi ditingkat lokal. Potret ini bisa terlihat dari beberapa kritiskah rakyat dalam melihat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah lokal? Atau seberapa besarkah kontribusi dari masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan strategis di daerahnya ?

Indikator diatas merupakan sebagai batu loncatan yang harus dipertimbangkan baik-baik oleh pemerintah dalam menyetujui terbentuknya daerah baru dari pemekaran otonomi daerah. Sehingga pada akhirnya daerah yang dimekarkan dapat sungguh-sungguh mampu dalam mengelola daerahnya.
Jawaban supaya suatu daerah mampu melewati indikator dan membentuk sebuah daerah baru atau memekarkan daerahnya adalah dengan mempercepat laju pertumbuhan pembangunan daerahnya dari berbagai aspek kegiatan kepemerintahannya. Menurut Marselina (Unila, 27-4-2006), percepatan pembangunan di daerah otonom bisa dilakukan dengan cara:
  1. mendorong dan membuka pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru
  2. desentralisasi pembangunan dan pelayanan publik
  3. belanja pembangunan dalam APBD yang tepat dan terfokus; dan
  4. strategi pemekaran sebagai opsi terakhir yang menjadi awal rencana memekarkan daerah.

Kerja Sama Daerah

Kesepakatan antara Gubernur dengan Gubernur atau Gubernur dengan Bupati/Walikota atau antara Bupati/Walikota dengan Bupati/Walikota yang lain dan atau Gubernur, Bupati/Walikota dengan pihak ketiga secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban

Latar Belakang Kerjasama Daerah

Adanya keterkaitan antara daerah satu dengan yang lain, adanya perbedaan sumber daya yang dimiliki oleh daerah-daerah, Adanya daerah-daerah yang surplus fasilitas atau sumber daya, dan kemungkinan duplikasi pelayanan yang diberikan daerah padahal berdekatan.
Kondisi yang seperti itulah yang melatar belakangi digagasnya kerjasama antar daerah dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi dalam ukuran-ukuran skala ekonomi, meningkatkan efektivitas dan kualitas pelayanan publik.

Prinsip Kerjasama Antar Daerah

1.      efisiensi;
2.      efektivitas;
3.      sinergi;
4.      saling menguntungkan;
5.      kesepakatan bersama;
6.      itikad baik;
7.      mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah NKRI
8.      persamaan kedudukan;
9.      transparansi;
10.  keadilan; dan
11.  kepastian hukum.

Dasar Hukum

          UU no. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 195 dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan. pasal 196, pasal 197 dan pasal 198
          Peraturan Presiden nomor 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
          Permendagri nomor 3 tahun 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kerjasama Daerah.

Bentuk Kerjasama

Tabel 1.1. bentuk-bentuk kerjasama antar daerah

Model Kerjasama

Tabel 1.2. Model-model kerjasama antar daerah

Bentuk Kerjasama dalam pelayanan publik

o   Handshake Agreement, kerjasama informal antar pemerintah daerah. Tidak adanya dokumen perjanjian kerjasama yang formal. Kerjasama didasarkan pada komitmen dan kepercayaan secara politis antar daerah terkait, bentuk kerjasama ini cukup efisien dan fleksibel dalam pelaksanaannya karena tidak ada kewajiban yang mengikat bagi masing-masing pemerintahan.
o   Fee for service contracts (service agreements), satu daerah “menjual” satu bentuk pelayanan publik kepada daerah lain, Misal pemerintah daerah A menjual Listrik atau Air ke daerah B, bisa karena daerah B tidak memiliki sumber daya untuk menghasilkan itu, atau sedang kekurangan. Dengan sistem kompensasi harga dan jangka waktu yang telah disepakati. Keunggulan kerjasama ini dapat diwujudkan dalam waktu relatif cepat. Selain itu daerah yang menjadi pembeli tidak perlu mengeluarkan biaya awal dalam penyediaan pelayanan, kendalanya biasanya sulit menentukan harga yang disepakati.
o   Joint Agreement, partisipasi dari daerah-daerah dalam penyediaan atau pengelolaan pelayanan publik, pemerintah-pemerintah daerah berbagi kepemilikan kontrol, dan tanggung jawab terhadap program. Sistem ini biasanya tidak memerlukan perubahan struktur kepemerintahan yang ada, kelemahannya dokumen perjanjian yang dihasilkan biasanya sangat rumit dan kompleks karena harus mengakomodasi sistem birokrasi dari pemda-pemda yang bersangkutan.

Sumber Daya Aparatur

Kelembagaan

Adanya konsep desentralisasi atau otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia, tentunya akan berkonsekuensi pada pembentukan kelembagaan tersendiri di badan pemerintahan daerah tersebut, kebutuhan perubahan struktur organisasi, meliputi pembagian kewenangan, dan juga tupoksi, karena adanya pemberian wewenang yang awalnya dipegang pusat menjadi dikelola oleh pemerintahan daerah secara mandiri.
Secara umum ada beberapa kriteria penataan struktur organisasi
  • Semakin tinggi tingkat pembagian kerja, semakin besar ukuran organisasi.
  • Semakin tinggi tingkat kompleksitas urusan, maka makin besar organisasi diperlukan.
  • Semakin tinggi tinggi tingkat rutinitas pekerjaan, maka makin tinggi tingkat sentralistis sebuah organisasi.
  • Semakin tinggi tingkat pekerjaan non rutinitas, maka makin tinggi tingkat desentralisasinya.
  • Semakin besar suatu organisasi maka makin besar jumlah personilnya.
  • Semakin besar suatu organisasi maka makin diperlukan banyak sumber daya yang diperlukan.
  • Semakin luas wilayah kerja, makin besar ukuran organisasinya.
  • Semakin tinggi tingkatan teknologi, semakin kecil ukuran organisasinya.
  • Semakin tinggi variasi budaya, makin besar variasi sebuah organisasi.
  • Semakin tinggi tingkat kemitraan, makin tinggi tingkat efisiensi kerja.
  • Semakin banyak hubungan kerja, semakin besar ukuran sebuah organisasi.
  • Semakin rendah tingkat disiplin pegawai, semakin besar ukuran organisasi pengawasan atau pembinaan.
  • Makin rendah tingkat stabilitas atau keamanan, makin besar ukuran organisasi.
  • Makin tinggi kompleksitas, makin tinggi tuntutan akan kualitas kepemimpinan.

Sumber Daya Manusia

Selain itu pemerintahan daerah juga memiliki kewenangan mengelola dan mengatur kepegawaian Negara, meliputi Kualitas, Distribusi Tugas, Mutasi, Promosi dan Penempatan jabatan para pegawai negeri (Birokrat).

Keuangan Daerah APBD[2]

            Adanya kewenangan dari pemerintahan daerah untuk mengelola dan mengatur rumah tangganya sendiri, berimplikasi pada adanya suatu anggaran yang dikelola oleh pemerintahan daerah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Belanja dalam APBD dialokasikan untuk melaksanakan program/kegiatan sesuai dengan kemampuan pendapatannya, serta didukung oleh pembiayaan yang sehat sehingga diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan pendapatan, serta pembangunan di berbagai sektor. Pencapaian tujuan tersebut diharapkan dapat dilakukan melalui peningkatan potensi penerimaan pajak dan retribusi daerah ditambah dengan dana transfer dari pemerintah Pusat yang digunakan untuk mendanai penyelenggaraan layanan publik dalam jumlah yang mencukupi dan juga berkualitas. Dengan belanja yang berkualitas diharapkan APBD dapat menjadi injeksi bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Namun demikian, sebagaimana selalu terjadi dalam pengelolaan keuangan publik, selalu terjadi kendala penganggaran (budget constraint), yang tercermin dari banyaknya kebutuhan yang dihadapkan pada keterbatasan sumber-sumber pendapatan daerah. Oleh karena itu, prioritas belanja dan perencanaan yang baik dapat menjadi kunci untuk menyiasati kendala penganggaran. Terkait dengan hal tersebut, secara nasional kiranya perlu dilakukan analisis tentang kesehatan keuangan APBD yang mampu memberikan informasi yang berguna dalam memotret kondisi keuangan APBD baik dari sisi pendapatan, belanja, maupun pembiayaan.
Di sisi pendapatan, analisis kesehatan keuangan APBD dilakukan dengan melihat beberapa hal, yaitu: rasio pajak (tax ratio), ruang fiskal (fiscal space), serta rasio kemandirian daerah. Rasio pajak mencerminkan hubungan pajak daerah dengan pendapatan domestic regional bruto (PDRB) daerah.
Ruang Fiskal merupakan rasio yang menggambarkan besarnya pendapatan yang masih bebas digunakan oleh daerah untuk mendanai program/kegiatan sesuai kebutuhannya. Penghitungan Ruang Fiskal diperoleh dengan mengurangkan seluruh pendapatan dengan pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked) dan belanja wajib seperti belanja pegawai dan bunga.
Rasio kemandirian daerah dicerminkan oleh rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap total pendapatan, serta rasio transfer terhadap total pendapatan. Dua rasio tersebut memiliki sifat berlawanan, yaitu semakin tinggi rasio PAD semakin tinggi kemandirian daerah dan sebaliknya untuk rasio transfer.
Di sisi belanja daerah, analisis meliputi rasio belanja pegawai terhadap total belanja, rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja, rasio belanja modal per total belanja, rasio belanja per jumlah penduduk, serta rasio belanja modal per jumlah penduduk. Semua rasio tersebut menunjukkan kecenderungan pola belanja daerah, apakah suatu daerah cenderung mengalokasikan dananya untuk belanja yang terkait erat dengan upaya peningkatan ekonomi, seperti belanja modal, atau untuk belanja yang sifatnya untuk pendanaan aparatur, seperti belanja pegawai tidak langsung.
Analisis APBD juga meliputi analisis atas defisit/surplus dan pembiayaan yang meliputi analisis defisit/surplus, Selisih Lebih atas Perhitungan Anggaran (SiLPA), penerimaan pembiayaan melalui pinjaman, serta rasio keseimbangan primer. Dari analisis di sisi bellow the line ini ternyata terdapat beberapa hal yang perlu dicermati. Salah satunya adalah adanya beberapa daerah yang menganggarkan defisit namun anggaran pembiayaannya tidak mencukupi untuk menutup defisit tersebut. Paling tidak terdapat 20 kabupaten/kota yang mengalami kejadian ini. Hal ini menunjukkan tidak sehatnya APBD mereka, karena dengan demikian belanja menjadi tidak jelas sumber pendanaannya. Sebaliknya, kondisi yang berlawanan juga terjadi dimana terdapat beberapa daerah yang menganggarkan surplus penerimaan (yang berarti terjadi selisih positif antara defisit/surplus dengan netto pembiayaan). Hal ini menunjukkan bahwa daerah-daerah tersebut memang mentargetkan SiLPA mereka. Terlepas dari apapun tujuan target SiLPA, namun hal ini tidak layak dilakukan dalam pola pengelolaan keuangan yang sehat, karena akan menimbulkan tidak efisiennya penggunaan budget untuk membiayai peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta mendorong munculnya dana yang off budget. Di samping itu, hal ini kemungkinan dapat juga disebabkan oleh ketidakmampuan SDM pengelola keuangan daerah dalam melakukan perencanaan anggaran.

Rasio Income

Terlihat dari grafik tersebut beberapa rasio yang terkait dengan pendapatan daerah. Rasio PAD dibandingkan total pendapatan daerah yang tertinggi adalah di wilayah Jawa dan Bali yaitu sebesar 32,9% sedangkan yang terendah di wilayah Nusa Tenggara, Maluku, Papua yang hanya sebesar 6,3%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemandirian seluruh daerah yang berada di wilayah Jawa dan Bali relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Fakta tersebut diperkuat juga dengan rendahnya rasio dana perimbangan dan transfer ke daerah dibandingkan total pendapatan. Berdasarkan dua rasio tersebut Jawa dan Bali hanya memiliki ketergantungan terhadap dana perimbangan dan transfer ke daerah masing-masing sebesar 59,2% dan 65,6%. Wilayah yang memiliki tingkat ketergantungan tertinggi terhadap dana perimbangan adalah di wilayah Kalimantan dimana rasio dana perimbangan terhadap total pendapatannya mencapai 80,9% persen. Sedangkan untuk rasio transfer ke daerah terhadap total pendapatan maka wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua menjadi wilayah yang tertinggi hingga mencapai 92,3%. Besarnya rasio tersebut ditengarai berasal dari adanya pengalokasian dana otonomi khusus dan dana penyesuaian yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan wilayah lainnya.[3]

Rasio Belanja Daerah

Bila dilihat besaran belanja daerah yang dianggarkan pada APBD TA 2011 antar wilayah maka dapat diketahui bahwa belanja pegawai tetap merupakan porsi terbesar yang harus dibelanjakan oleh daerah, selanjutnya baru diikuti oleh belanja modal serta belanja barang dan jasa.
Belanja pegawai di wilayah Sulawesi mencapai 52,5% sedangkan wilayah Kalimantan belanja pegawainya hanya sekitar 37,5%. Fakta tersebut juga didukung oleh rasio pegawai terhadap jumlah total penduduk yang mencapai 1,38% di wilayah Sulawesi. Tetapi rasio pegawai di wilayah Kalimantan (1,26%) bukanlah yang terendah karena rasio pegawai per total penduduk di wilayah Jawa hanya mencapai 0,6%.
Bisa diartikan bahwa jumlah pegawai di wilayah Jawa sangat rendah karena total penduduk di wilayah tersebut sangat banyak sehingga rasio belanja pegawai terhadap total belanja juga besar yaitu sekitar 50,6%. Ironisnya berbagai pengeluaran kegiatan yang terangkum dalam akun belanja modal di wilayah Jawa sangat kecil yaitu hanya sekitar 18,3%. Hal ini bisa berarti bahwa di satu sisi kebutuhan infrastruktur di Jawa dan Bali relatif rendah sehingga setiap daerah di wilayah tersebut tidak perlu menganggarkan terlalu banyak belanja modal atau memang karena APBD di semua daerah di Jawa dan Bali sudah terlalu berat untuk memberikan pelayanan publik yang tercermin dari besarnya jumlah pegawai dan rasio belanja pegawai per total belanjanya.
Wilayah Kalimantan menunjukkan geliat pembangunan infrastruktur yang paling signifikan tercermin dari rasio belanja modalnya yang mencapai sekitar 32,3% dan belanja barang dan jasanya juga relatif tinggi yaitu sekitar 21,1%.[4]

Surplus, Defisit, dan Pembiayaan Daerah

Besarnya defisit APBD TA 2011 yang paling tinggi terjadi di wilayah Kalimantan yang mencapai -12,2%. Sedangkan untuk menutup defisit tersebut seluruh daerah di wilayah Kalimantan mengandalkan SiLPA yang bisa langsung digunakan untuk mendanai kebutuhan belanja yang belum tersedia dananya, rasio SiLPA terhadap total belanja daerah adalah sebesar 12,4%. Tetapi untuk mengantisipasi tidak tercapainya pendapatan daerah yang dianggarkan maka seluruh daerah di wilayah Kalimantan berencana mengajukan pinjaman yang rasionya mencapai 1,0% dari total pendapatan.
Wilayah Sulawesi menganggarkan defisit sebesar -3,4% dengan rasio SiLPA sebesar 3,8%. Rasio pinjaman terhadap total pendapatan Sulawesi sebesar 1,6% menunjukkan adanya kecenderungan bahwa dalam melakukan proyeksi pendapatan daerah-daerah di Sulawesi tidak terlalu yakin akan tingkat ketercapaian pendapatan yang berasal dari PAD maupun dana transfer ke daerah. Besarnya ketergantungan atas dana transfer ke daerah serta risiko fiskal yang harus ditanggung oleh APBN menyebabkan seluruh daerah sebaiknya juga harus mulai melakukan perhitungan risiko fiskal yang harus ditanggung. Porsi belanja pegawai yang tinggi menyebabkan berkurangnya alternatif efisiensi belanja daerah. Sehingga daerah harus mulai lebih inovatif dan kreatif untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya dengan ekstensifikasi dan intensifikasi pajak daerah dan retribusi daerah agar alternatif pendanaan untuk menutup defisit tidak semata tergantung pada SiLPA dan pinjaman daerah.[5]

Otonomi Daerah dan Demokrasi

Otonomi daerah akan berimplementasi pada lebih hidupnya kehidupan berpolitik rakyat di daerah, tentunya hal ini tidak akan terlepas dari syarat penerapan demokrasi secara nyata pada kehidupan masyarakat daerah.
Dengan diberlakukannya demokratisasi pada kehidupan masyarakat daerah, maka partisipasi rakyat daerah akan semakin besar dan semakin luas pula. mulai dari proses pemilihan umum yang dilakukan secara langsung untuk memih wakil rakyat yang nanti akan mengelola pemerintahan, pun juga daalm proses partisipasi selama berjalannya roda pemerintahan, rakyat bisa mengaspirasikan pendapatnya.
Adanya otonomi daerah pun menjadikan rakyat daerah lebih mengetahui bagaimana kondisi dan seluk beluk daerahnya, yang biasanya menimbulkan etnosentrisme tertentu dari rakyat daerah tersebut, belum lagi adanya pemilu kada yang diselenggarakan akan membuat semakin jelasnya diferensiasi dan semakin tajam pertentangan antara kelompok-kelompok sosial yang ada di masyarakat daerah tersebut.
Semakin panjangnya rentang kendali antara pemerintah pusat terhadap daerah menyebabkan kurangnya kontrol dan kepekaan pemerintahan pusat terhadap kondisi-kondisi di daerah.

Akuntabilitas

Definisi akuntabilitas

Kewajiban untuk menyampaikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang / badan hukum / pimpinan kolektif atau organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.
Kinerja:
Perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan melalui sistem pertanggungjawaban secara periodik
Menurut Prof. Dr. Miriam Budiardjo akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberi mandat itu. Menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi (checks & balances system).

Ruang lingkup akuntabilitas

Jaminan pemenuhan & penghormatan hak-hak Masyarakat:
1.      Hak memperoleh pelayanan & perlakuan yang layak.
2.      Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara;
3.      Hak diikutsertakan dalam merencanakan kinerja program atau kegiatan pemerintah / Penyelenggara Negara.
4.      Hak menilai pencapaian kinerja pelayanan publik.
5.      Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan
6.      Hak memperoleh perlindungan hukum.
Jaminan pelaksanaan KEWAJIBAN Penyelenggara Negara
1.      Menyusun Rencana Kinerja dan menyampaikan pada masyarakat diawal setiap tahun anggaran.
2.      Melakukan pengukuran pencapaian kinerja dan menyampaikan hasilnya pada masyarakat diakhir tahun.
3.      Melakukan pengukuran kepuasan masyarakat dan menyampaikan hasilnya atas program yang dijalankan.
4.      Memberikan tanggapan thd pengaduan & kebutuhan masyarakat.
5.      Memperbaharui rencana kinerja yang baru sebagai kesepakatan komitmen (kontrak sosial) baru.
Jaminan pemenuhan dan penghormatan hak-hak Publik
1.      Hak publik untuk membaca dan mendapatkan dokumen resmi (official document).
2.      Hak aparatur penyelenggara negara, termasuk aparatur pemerintah daerah untuk menyampaikan informasi tentang apa yang ia ketahui kepada siapapun (freedom of expression of civil servant)
3.      Hak aparatur penyelenggara negara untuk menyampaikan informasi atau dokumen kepada media massa.
4.      Hak publik dan media massa untuk menghadiri persidangan (access to court hearings).
5.      Hak publik dan media massa untuk hadir pada pertemuan-pertemuan resmi parlemen (Swedish Parliament), Municipal Assembly, dan Country Council.

Jenis-jenis Akuntabilitas

Prof. Bintoro Tjokroamidjojo
  • Akuntabilitas politik dari pemerintah melalui lembaga perwakilan.
  • Akuntabilitas keuangan melalui pelembagaan budget dan pengawasan BPK.
  • Akuntabilitas hukum, dalam bentuk aturan hukum, reformasi hukum dan pengembangan perangkat hukum.
  • Akuntabilitas ekonomi (efisiensi), dalam bentuk likuiditas dan (tidak) kepailitan dalam suatu pemerintahan yang demokratis, tanggung gugat rakyat melalui sistem perwakilan.
Dadang Solihin
  • Akuntabilitas Eksplisit.
Pertanggungjawaban pejabat negara manakala diharuskan untuk menjawab / memikul konsekuensi atas cara-caranya dalam melaksanakan tugas kedinasan.
  • Akuntabilitas Implisit
Segenap aparatur negara secara implisit bertanggung jawab atas setiap pengaruh yang tak terduga dari akibat-akibat keputusan yang dibuat

Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance, NPM, RG dan NPS)

Asumsi pemerintahan daerah yang ada di Indonesia
Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh penulis, keseluruhan konsep pemerintahan yang baik tersebut memiliki latar belakang dan konteks sosial budaya berasal dari ideologi liberalis, dan ketika konsep tersebut diterapkan pada negara-negara lain sering kali mengalami modifikasi, dikarenakan bias ideologi tersebut. Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh penulis, keseluruhan konsep pemerintahan yang baik tersebut ( Good Governance, NPM, RG, dan NPS ) memiliki latar belakang dan konteks sosial budaya berasal dari ideologi liberalis, dan ketika konsep tersebut diterapkan pada negara-negara lain sering kali mengalami modifikasi, dikarenakan bias ideologi.

Besarnya campur tangan pemerintah dalam kehidupan masyarakat

Sebagai mana yang kita ketahui Indonesia tidak lah sepenuhnya menganut ideologi liberal, hal ini dapat dilihat dari masih cukup besarnya campur tangan pemerintah dalam mengelola kehidupan masyarakatnya. Adanya bias ideologi tersebut yang termanifestasi dalam peraturan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, tentunya akan mempengaruhi perbedaan implementasi dan konsep yang tepat untuk pemerintahan yang baik di konteks Indonesia.
Pun demikian juga dengan kondisi pemerintahan di daerah, tidak akan jauh berbeda dengan ketentuan pemerintah pusat, misalnya adanya Badan Usaha Milik Daerah yang menjadi salah satu sumber pendapatan pemerintah. Masih dimonopolinya sektor-sektor yang dianggap vital bagi masyarakat pengelolaannya masih dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. 
Contoh penerapan konsep pemerintahan yang baik di Indonesia  
          Kota Surabaya à tahun 2010-2012 pelaksanaan konsep e-goverment
          Kab. Sleman à tahun 2004 membuat neraca yang diaudit oleh Akuntan Publik Independen dan memuatnya di Harian Kompas.
          Kab. Jembrana à efisiensi pemerintahan (5 Dinas, regrouping sekolah, penghapusan kendaraan & rumah dinas, dll).
          Kota Palangkaraya à mekanisme untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap kinerja pemberian pelayanan publik oleh pemerintah daerah
          Kota Bandung à pelayanan kebutuhan air bersih dikelola secara swakelola. Caranya, RW membangun sumur artesis (sekitar 60m) dan menjualnya kepada warga sekitar dengan harga yang lebih murah dibanding harga PDAM. Dalam hal ini, implementasi good local governance terlihat dari posisi masyarakat bertindak selaku penyedia jasa layanan (service provider), pengguna (service user), sekaligus kelompok kepentingan (concern groups).

Evaluasi dan Rekomendasi

Bahaya Desentralisasi

 (Prud’Homme, 1985)
1.     Makin tingginya disparitas antar daerah
Potensi dan kemampuan setiap daerah berbeda-beda, terutama dalam pemilikan sumber daya, sementara desentralisasi berarti memberikan kewenangan yang luas kepada daerah dalam mengurusi aktivitasnya termasuk aktivitas ekonomi. Daerah bebas dalam mengolah sumber daya, menerapkan kebijakan fiskal. Karena potensi dan kemampuan daerah berbeda-beda, maka disparitas antar daerah akan semakin tinggi. Daerah yang kaya dan memiliki struktur ekonomi yang lebih seimbang akan melaju cepat, sementara itu Daerah yang miskin akan ketinggalan.
2.     Inefisiensi produksi dan alokasi.
Daerah akan memaksakan diri dalam melakukan produksi suatu komoditas tertentu meskipun secara ekonomis tidak terlalu menguntungkan, sehingga secara nasional dapat dinilai sebagai inefisiensi dalam alokasi sumber daya. Sumber daya yang seharusnya dialokasikan untuk komoditas lain, karena motivasi kemandirian, akhirnya dialokasikan kepada komoditas tertentu yang kurang efisien. 
3.     Instabilitas yang berpangkal dari luasnya kewenangan daerah dalam kebijakan fiskal.
“Meskipun desentralisasi fiskal memberikan manfaat di beberapa negara seperti China, India, negara-negara Amerika Latin, serta negara-negara lain di belahan di dunia ini, namun di sisi lain memunculkan 3 masalah utama, yaitu: meningkatnya ketidakadilan (kesenjangan), instabilitas makroekonomi, dan adanya resiko kewenangan lokal yang dapat menyebabkan kesalahan dalam alokasi sumber daya” (World Development Report: The State in a Changing World, 1997).

Pemekaran Wilayah

Dasar berfikir diadakannya pemekaran yaitu untuk meningkatkan pelayanan publik dan mendekatkan Pemerintah Daerah dengan masyarakat daerahnya namun realitasnya dilapangan harapan ini tak sejalan sepenuhnya dengan apa yang dibayangkan.
  1. Implikasi Pemekaran:
    1. Sumber daya keuangan semakin terbatas.
    2. Meningkatkan overhead-cost.
    3. Memperbanyak aktor (institusi) Pemerintah Daerah.
    4. Mendorong pembentukan lembaga vertikal: Polisi, Militer, Kejaksaan, PN, dll.
  2. Pemekaran tanpa analisis komprehensif terhadap kelayakan teknis, administratif, politik dan potensi daerah.
  3. Fakta kesenjangan pembangunan dijawab dengan pemekaran tanpa menyelesaikan masalah pokoknya.
  4. Pemekaran justru melemahkan kemampuan fiskal daerah karena adanya pembagian sumber daya.
  5. Ilustrasi pemekaran: sakit kepala diobati dengan obat sakit perut.
  6. Sumber penerimaan tergantung pada Pusat (94%), dan harus dibagi menjadi dua. Akibatnya, kapasitas fiskal semakin melemah.
  7. Menurunnya kapasitas fiskal akan berdampak menurunnya kemampuan pembiayaan pelayanan publik secara keseluruhan (secara parsial mungkin menguntungkan daerah baru).
  8. Daerah yang lemah secara ekonomi akan sulit membangun daerahnya pada jangka panjang.
  9. Menciptakan kendala baru berupa kebutuhan pembiayaan birokrasi (overhead-cost).
  10. Masyarakat secara umum yang mendapat dampaknya. Kasus: Kalimantan timur sebagai Provinsi terbesar APBD-nya, namun jumlah penduduk miskinnya terbanyak se-Kalimantan (2007).
  11. Demokrasi tidak hanya dilakukan dengan pemekaran, tapi bisa juga dengan devolusi kekuasaan (baik dengan sistem federalisme maupun otonomi luas).
  12. Kasus Indonesia : Kesenjangan antar wilayah : Jawa saja yg “Layak” dimekarkan dan menjadi demokratis, sedang luar Jawa sulit dimekarkan karena sedikitnya jumlah penduduk.
  13. Pemekaran membuat rentang kendali semakin panjang, sehingga mempersulit mekanisme koordinasi, pengawasan & pembinaan oleh Pusat terhadap Daerah.
  14. Pemekaran berimplikasi terhadap berkurangnya jumlah dan kemampuan anggaran (fiscal capacity) baik bagi daerah baru hasil pemekaran maupun daerah induknya.
  15. Pemekaran memicu orientasi menggali PAD melalui penetapan Perda retribusi yang menjadikan iklim usaha kurang kondusif.
  16. 76 % daerah hasil pemekaran mengalami kemunduran dari sebelumnya, dengan indikator jumlah masyarakat miskin meningkat (Priyo Budi Santoso, Suara Pembaruan: 10-4-2007).
  17. Laporan Depdagri 2006: dari 148 daerah otonom baru yang dievaluasi, sekitar 80 % masuk kategori bermasalah dan gagal. Data Dep. Keuangan 2007: mayoritas daerah pemekaran tergolong berkemampuan keuangan rendah. BPK juga menyebutkan, pemekaran berdampak negatif pada perekonomian, sebab membebani keuangan negara (Kompas, 31-5-2007 ).
  18. Pemekaran yang tidak terencana menyulitkan penentuan daerah pemilihan untuk Pemilu 2009 (Mendagri, Kompas, 9-3-2007).
  19. Daerah otonom baru belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara signifikan (Mendagri, Kompas, 23-10-2007).
  20. "Bukan rahasia lagi, lebih dari 90 % APBD daerah otonom baru disubsidi dari APBN” (Ryaas Rasyid, Kompas, 23-10-2007).
  21. Letak daerah yang jauh dari pusat pemerintah bukanlah masalah yang harus diatasi dengan pemekaran. Akibatnya, banyak daerah baru hasil pemekaran justru menjadi beban pemerintah (Taliziduhu Ndraha, Kompas, 13-3-2007).
  22. Pemekaran belum menyentuh kesejahteraan publik terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan dan layanan umum. Pemekaran lebih banyak memberikan keuntungan bagi segelintir elite dan kelompok birokrasi maupun pengusaha saja (Suara Karya, 21-5-2007).
  23. Pemekaran menimbulkan ketidakefisienan secara ekonomi. Ini terlihat dari munculnya banyak perda yang berbeda di tiap daerah (Kompas, 24-4-2007).
Fakta lain tentang Pemekaran Wilayah
10 Aspek Penilaian Evaluasi Perkembangan DOB
Di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, antara lain diamanatkan perlunya dilakukan evaluasi daerah otonom baru yang berusia 0-3 tahun. Tujuan dari program ini adalah untuk mengetahui tingkat perkembangan penyelenggaraan pemerintahan pada DOB yang saat ini berjumlah 57 daerah.
Instrumen evaluasi per-kembangan DOB telah ditetapkan dalam Peraturan Mendagri Nomor 23 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Perkembangan Daerah Otonom Baru, yang meliputi 10 aspek penilaian, yaitu:
1)      Pembentukan organisasi perangkat daerah;
2)      Pengisian personil;
3)      Pengisian keanggotaan DPRD;
4)      Penyelenggaraan urusan wajib dan pilihan;
5)      Pembiayaan;
6)      Pengalihan aset, peralatan dan dokumen;
7)      Pelaksanaan penetapan batas wilayah;
8)      Penyediaan sarana dan prasarana pemerintahan;
9)      Penyiapan rencana umum tata ruang wilayah;
10)  dan Pemindahan Ibukota bagi daerah yang Ibukotanya dipindahkan.
Studi Empiris Data statistik Pemekaran Wilayah
Instrumen evaluasi perkembangan daerah otonom baru ini telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Perkembangan Daerah Otonom Baru.
Dari hasil evaluasi terhadap 57 Daerah Otonom Baru (DOB) sebanyak 13 DOB (22,8 persen) usia satu tahun dan dua tahun telah menunjukkan perkembangan yang baik. Artinya, satu DOB usia satu tahun telah melampaui nilai 60 dan 12 DOB usia dua tahun telah melampaui nilai 70.
Sementara itu, sebanyak 44 DOB (77,2 persen) usia satu tahun dan dua tahun yang masih masuk kategori penilaian sedang sebanyak 27 DOB, masuk kategori kurang baik 13 DOB, dan kategori tidak baik sebanyak empat DOB yang masih memerlukan pembinaan dan fasilitasi khusus dalam beberapa hal antara lain:
    1. Penyusunan perangkat daerah belum dapat diselesaikan
    2. Pengisian personil belum memenuhi kompetensi
    3. Urusan wajib dan urusan pilihan belum dapat dilaksanakan
    4. Sebagian besar DOB memiliki jumlah penduduk yang kurang memadai
    5. Pengalihan pembiayaan, peralatan/aset dan dokumen masih tersendat-sendat
    6. Alokasi anggaran APBD untuk pelaksanaan pembangunan dan pelayanan pendidikan, kesehatan, serta administrasi kependudukan, masih sangat minim. Sedangkan pada umumnya belanja personil di atas 60 persen
    7. Penetapan batas wilayah belum dimulai; penyediaan sarana dan prasarana pemerintah belum selesai
    8. dan hampir seluruh Daerah Induk belum dapat memindahkan ibukotanya (pembentukan DOB Kota, Kabupaten Induk harus memindahkan ibukotanya), sehingga banyak menimbulkan permasalahan dengan pemerintahan di DOB.

Rekomendasi Pemekaran Daerah

o   Pengetatan syarat pemekaran wilayah supaya tidak terjadi kegagalan pemerintahan, karena minimnya infrastruktur dan kurang mandirinya pengelolaan pemerintah daerah
o   Tetap adanya intervensi pemerintah pusat terhadap pengelolaan sumber daya daerah dengan orientasi pemerataan sumber daya kepada daerah-daerah yang kurang sumber daya

Kerjasama Antar Daerah

1.      Banyak terjadi konflik yang terjadi karena tidak ada kejelasan dan kesepakatan antar daerah,
Contoh: Pemprov DKI membangun tanggul di Kali Mokervart. Belum ada komunikasi dengan wilayah penyangga (Bodetabekjur). Pemkot Tangerang menganggap tanggul tsb berada di wilayahnya, kemudian membatalkan proyek tsb.
Pokok masalah: lemahnya koordinasi, tidak jelasnya batas kewenangan, ketiadaan visi yg sama, lembaga pengelola kerjasama tidak optimal, dll.
2.      Belum dioptimalisasikannya konsep kerjasama antar daerah ini di Indonesia. Padahal bisa sangat potensial untuk saling menutupi kebutuhan antar daerah dan sarana distribusi komoditas unggulan daerah ke daerha-daerah selainnya

Rekomendasi Kerjasama Antar Daerah

1.      Musyawarah secara mufakat, atau Perlibatan pemerintah netral disini Mendagri atau Gubernur provinsi terkait, untuk menyelesaikan masalah tersebut, jika ada masalah lebih lanjut bisa diajukan ke MA untuk penanganan lebih lanjut
2.      Pembuatan kontrak kerja secara formal tertulis, dan disepakati kedua belah pihak, komunikasi intensif dan pengawasan secara bersama diketahui bersama oleh aparat daerah bersangkutan dalam proyek tersebut.
3.      Memfasilitasi distribusi hasil produksi daerah untuk disalurakan ke daerah selainnya, dengan mendirikan sebuah badan tertentu yang bertugas mempromosikan serta mengatur distribusi (pesanan) komoditas daerah tersebut, pun di daerah selainnya. Sehingga antar pemerintah daerah bisa ada link tentang kebutuhan komoditas yang kekurangan aberlebih sehingga bisa saling melengkapi antar satu daerah dengan daerah selainnya.

Kelembagaan Perangkat Daerah

Kerampingan Struktur
1.      Masih seringkali ditemui struktur yang gemuk, saling tumpang tindih, yang mempunyai fungsi beririsan, sehingga kinerjanya tidak efektif
2.      Problem ketimpangan dan distribusi tugas
SDM (pegawai)
3.      Masih banyaknya daerah yang memiliki aparatur SDM dengan kualitas masih rendah, sekedar lulusan SMP atau SMA saja. Apalagi untuk daerah-daerah pemekaran baru yang sering kali di dominasi oleh SDM yang kapabilitasnya masih rendah.
4.      Problem pengangkatan, mutasi jabatan, dsb yang masih banyak sekali ditemukan nuansa politis, seperti penggantian kepala dinas pendidikan oleh Walikota Jawa Barat karena kepala dinas yang lama tidak mendukung program perintahannya.
Keuangan
Rasio PAD
Untuk rasio PAD, Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio tertinggi secara nasional, Provinsi Bali untuk kabupaten/kota per provinsi, Jawa Timur untuk per pemerintah provinsi dan Jawa-Bali untuk kewilayahan. Sementara itu, yang terendah secara nasional, kabupaten/kota per provinsi, serta per pemerintah provinsi adalah adalah Provinsi Papua Barat, sedangkan untuk per wilayah adalah Nusa Tenggara-Maluku-Papua. Posisi tertinggi dan terendah rasio transfer umumnya berkebalikan dengan posisi provinsi yang bersangkutan pada rasio PAD. Artinya, provinsi yang tertinggi untuk rasio PAD merupakan rasio terendah untuk rasio transfer dan demikian pula sebaliknya.
Rasio Belanja Daerah
Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk belanja pegawai, Provinsi DIY memiliki rasio tertinggi untuk total pemda per provinsi dan kabupaten/kota per provinsi. Sementara itu, rasio belanja pegawai terendah untuk seluruh pemda per provinsi dan pemerintah provinsi adalah Provinsi Papua Barat, sedangkan untuk daerah kabupaten/kota per provinsi yang terendah adalah Kalimantan Timur. Hal yang hampir serupa terjadi untuk rasio belanja pegawai tidak langsung. Hal ini wajar, karena secara rata-rata porsi belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja pegawai total relatif hampir seragam di seluruh daerah. Sebagaimana patut diduga, kondisi berkebalikan terjadi untuk rasio belanja modal. DIY memiliki rasio terendah untuk rasio belanja modal, sedangkan Kalimantan Timur merupakan yang tertinggi. Untuk rasio belanja per kapita, Papua Barat dan Jawa Barat merupakan yang memiliki rasio tertinggi dan terendah dalam agregat per provinsi. Sementara berdasarkan pembagian wilayah, rasio di Kalimantan merupakan yang tertinggi, dan Jawa-Bali (tidak termasuk DKI) adalah yang terendah.
Surplus, Defisit dan pembiayaan daerah
Dari analisis di sisi bellow the line ini ternyata terdapat beberapa hal yang perlu dicermati. Salah satunya adalah adanya beberapa daerah yang menganggarkan defisit namun anggaran pembiayaannya tidak mencukupi untuk menutup defisit tersebut. Paling tidak terdapat 20 kabupaten/kota yang mengalami kejadian ini. Hal ini menunjukkan tidak sehatnya APBD mereka, karena dengan demikian belanja menjadi tidak jelas sumber pendanaannya. Sebaliknya, kondisi yang berlawanan juga terjadi dimana terdapat beberapa daerah yang menganggarkan surplus penerimaan (yang berarti terjadi selisih positif antara defisit/surplus dengan netto pembiayaan). Hal ini menunjukkan bahwa daerah-daerah tersebut memang mentargetkan SiLPA mereka. Terlepas dari apapun tujuan target SiLPA, namun hal ini tidak layak dilakukan dalam pola pengelolaan keuangan yang sehat, karena akan menimbulkan tidak efisiennya penggunaan budget untuk membiayai peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta mendorong munculnya dana yang off budget. Di samping itu, hal ini kemungkinan dapat juga disebabkan oleh ketidakmampuan SDM pengelola keuangan daerah dalam melakukan perencanaan anggaran.
Rekomendasi Keuangan
1.      Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa managemen keuangan dibeberapa daerah di Indonesia memiliki permasalahan yang berbeda-beda. Adanya kekurangan dalam managemen keuangan daerah tersebut disebabkan oleh beberapa factor, dan menurut kami, factor yang paling berpengaruh adalah SDM yang menangani keuangan di masing-masing daerah belum cukup capable untuk menciptakan daerah yang mandiri, meskipun setiap daerah memiliki potensi keungan yang berbeda-beda. Namun jika di masing-masing daerah memiliki badan keuangan yang bisa mengelolah keuangan daerah dalam hal APBN, PAD, ataupun TA dengan memanagemen keseluruhan proses tersebut sehingga dalam anggaran dan realisasi keuangannya tidak ada kekurangan dan sebisa mungkin surplus.
2.      Rekomendasi lain yang mungkin bisa kami berikan untuk masalah keuangan adalah peran serta pusat untuk managemen keuangan daerah, dimana masing-masing daerah memiliki perbedaan dalam hal SDM, sumber ekonomi daerah, dan juga daya beli masyarakat di masing-masing daerah yang ini menyebabkan ketimpangan antar daerah dalam hal pendapatan daerah. Untuk itu, pemerintah pusat seharusnya juga berperan serta pada daerah-daerah yang kemandirian dalam ekonominya masih rendah. Peran serta pusat pada daerah tidak harus dengan memberikan anggaran Negara yang lebih untuk daerah dengan pemerataan ekonomi, tetapi bisa juga dengan memberikan suntikan SDM yang bisa mengatur kestabilan keuangan daerah.
3.      Berdasarkan total pagu belanja negara di APBN 2011 senilai Rp 1.229,6 triliun, sebagian besar sudah teralokasi untuk mendanai kegiatan belanja yang sifatnya mengikat. Seperti, untuk transfer ke daerah senilai Rp 393 triliun, bayar bunga dan utang pokok sebesar Rp 115 triliun, subsidi sebesar Rp 188 triliun, dana pendidikan Rp 240 triliun, dan bantuan sosial sebesar Rp 63 triliun.
Untuk mendorong peluang mengejar keterlambatan pertumbuhan ekonomi bisa dengan menambah anggaran dengan membuat suatu kegiatan yang memiliki nilai tambah seperti pelayanan dasar masyarakat, infrastruktur, dan menciptakan konektivitas.
4.      Dan berikut penjelasan dari Staf Khusus Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Dedy Masykur Riyadi mengenai beberapa hal yang diperlukan untuk mendorong peningkatan pendapatan daerah :
a.      Ke depan dana transfer daerah harus lebih diawasi penggunaannya. Seperti, dengan memberikan reward and punishment bagi dana yang dapat memberikan nilai tambah. Menurut dia, dengan dibesarkan belanja modalnya dibandingkan belanja pegawai, maka nantinya akan bisa diarahkan ke pengembangan infrastruktur, pengembangan pertanian, dan memperbanyak aset untuk tingkatkan kapasitas.
b.      Yang membuat angaran tidak efisien karena banyak pemekaran dan banyak daerah yang tidak memiliki sumber daya dan pendapatan sendiri untuk membiayai belanja daerah.
c.       Besarnya dana transfer daerah yang setiap tahun bertambah seharusnya bisa memacu pertumbuhan ekonomi secara nasional. Namun, sejauh ini belum mempunyai sumbangsih terhadap perekonomian nasional.

Demokrasi dan Konflik Daerah

1.      Polarisasi atau Fragmentasi di tingkat Grassroot
76 daerah dari 226 daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada sangat berpotensi terjadi konflik karena berbagai sebab (Depdagri). Gejala munculnya polarisasi dan fragmentasi di tingkat grassroot akibat dari adanya kecenderungan preferensi emosional dan primordial. Kondisi tadi dapat mempengaruhi stabilitas di daerah dan pada gilirannya dapat pula mengancam keberlangsungan pembangunan sosial ekonomi daerah.
2.      Money Politic semakin marak menyentuh hingga masyarakat bawah
Unanswered question: Dapatkan Pilkada menekan money politics? Masih kurangnya Calon Independen baru sebagai salah satu peserta pemilu, dan calon independent ini hanya sebatas putusan judicial review MK, shg rakyat hanya memiliki “hak pilih” di dominasi dari calon-calon yg telah ditentukan oleh partai politik. Parpol masih tetap menjadi “mesin politik” utama menuju kekuasaan. Dimana uang masih dijadikan sebagai salah satu sumber kekuasan paling penting dan berpengaruh oleh Parpol terhadap masyarakat kalangan bawah terutama. Peran inilah yang akan menjadi medan magnet terjadinya money politics. Ada kecenderungan money politics ini lebih menyebar dan menjangkau langsung kepada masyarakat. Logikanya, money politics akan mengikuti dimana “suara” berada. 
3.      Netralitas Birokrasi
Netralitas Birokrasi pun pada realitas pilkada masihlah sangat rendah, masih adanya kecenderungan dari birokrasi berpihak pada incumbent, karena sebagai mantan atasan dan juga ada kedekatan bahkan politisasi yang dilakukan oleh calon incumbent terhadap birokrasi membuat ikatan birokrat kepada incumbent jauh lebih kuat.

Rekomendasi Demokrasi dan Konflik Daerah

Dari contoh diatas (GAM), konflik daerah sering kali terjadi di Indonesia, hal ini juga disebabkan oleh pemerintah pusat yang tidak banyak memberikan pemecahan masalah terhadap daerah. Dan pemerintah daerah pun tidak sepenuhnya bisa mengatasi problematika yang ada didaerahnya (sehingga bisa terjadi gerakan semacam itu). Dan yang mungkin bisa dilakukan oleh pemerintah pusat dalam menangani daerah adalah dengan menyesuaikan kemampuan/kapabilitas yang dimiliki oleh SDM yang ada di masing-masing daerah, semisal ketika tidak ada SDM yang mumpuni untuk mengatasi dan memanajemen daerah tersebut, maka pemerintahannya langsung dipegang oleh pemerintah pusat. Selain itu, factor kemapaman ekonomi dari setiap daerah juga butuh diperhitungkan, karena ekonomi merupakan hal yang paling sering menjadi sumber masalah/konflik.
Dalam penanganan permasalahan konflik yang terjadi, pemerintah pusat juga harusnya memberikan pemecahan masalah yang sifatnya bukan parsial (setengah-setengah), tapi juga hingga benar-benar bisa selesai permasalahan tersebut dan menjamin konflik daerah tidak akan terjadi lagi.

Akuntabilitas dan Korupsi

Evaluasi yang kami dapatkan,
  1. Tidak adanya payung hukum yang kuat untuk menilai permasalahan Akuntabilitas. Selama ini yang menjadi Umbrella Act Akuntabilitas adalah RUU tentang Konsep & Kebijakan  dan Inpres No. 7/1999 yang sifatnya masih add hock. Sehingga sangat rendah tidak kuatnya ikatan dari hukum ini.
  2. Tidak adanya pengaturan tentang Sanksi, baik permasalahan moral, administrasi dan pidana
  3. Terjadi tumpang tindih dengan RUU Administrasi Pemerintahan, dan overlap dalam penerapan RUU Akuntabilitas, misalnya antara KON / KOD, Badan Peradilan, atau Instansi Pemerintah (upaya administratif).
  4. Tidak jelasnya tupoksi lembaga dalam menjabarkan visi, tujuan dan indikator kinerja organisasi.
  5. Lemahnya komitmen aparat dalam membuat laporan akuntabilitas dan Belum terbangunnya etika pemerintahan terhadap pertanggungjawaban dan hak publik.
  6. Belum memadainya kesadaran masyarakat untuk sebagai pressure group dalam mendorong implementasi akuntabilitas oleh penyelenggara negara.
  7. Tidak adanya SOP penyelenggaraan urusan pemerintahan à SPM.
  8. Tidak jelasnya Mekanisme pertanggungjawaban, baik laporan berkala (triwulan, semester, tahun, 5 tahun, akhir jabatan).
  9. Minimnya sistem pemantauan & pengawasan kinerja.
  10. Tidak adanya Mekanisme reward and punishment.
Studi Empiris (Data kuantitatif) tentang Akuntabilitas[6]
Korupsi ternyata masih menjadi masalah paling utama bagi para pelaku bisnis dalam menjalankan usaha di Indonesia. Hal ini terlihat dalam survei Indeks Persepsi Korupsi Indonesia, dimana korupsi menjadi masalah paling utama dalam menjalankan usaha di Indonesia, mengalahkan infrastruktur yang tidak memadai, birokrasi yang tidak efisien, dan ketidak stabilan politik. Survei IPK Indonesia juga menunjukkan bahwa bagi kalangan usaha, lembaga kepolisian, pajak, dan pengadilan serta kejaksaan merupakan lembaga-lembaga publik yang perlu menjadi prioritas dalam pemberantasan korupsi.
Dalam situasi pemberantasan korupsi di Indonesia yang tidak jelas arah strateginya ini, nampaknya kehadiran instrumen pengukuran yang bisa dipertanggungjawabkan metodenya, bisa memberikan arah dalam menyusun skala prioritas  pencegahan maupun penindakan korupsi. Setelah Transparency International meluncurkan Corruption Perception Index (CPI), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan hasil Survei Integritas 2010, Transparency International-Indonesia (TI-Indonesia) menyampaikan pada publik Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK Indonesia).
IPK Indonesia adalah instrumen pengukuran tingkat korupsi di kota-kota Indonesia. IPK Indonesia dibuat berdasarkan survei yang metodenya dikembangkan oleh TI-Indonesia. Survei dilakukan dengan cara wawancara tatap muka terhadap 9237 responden pelaku bisnis, antara bulan Mei sampai dengan Oktober 2010. IPK Indonesia mengukur tingkat korupsi di 50 kota di seluruh Indonesia, meliputi 33 ibukota propinsi ditambah 17 kota lain yang signifikan secara ekonomi. Rentang indeks antara 0 sampai 10. 0 berarti dipersepsikan sangat korup, 10 sangat bersih. TII menyasar responden pelaku bisnis. Para pelaku bisnis dibagi menjadi 3 kategori yakni perusahaan besar (22 persen), menengah (40 persen), kecil (38 persen).


Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Kota Jakarta hanya 4,43. Berdasarkan survei Transparency International Indonesia (TII) dari skala 0-10 nilai Jakarta masih di bawah standar. Jakarta belum bebas dari korupsi, malah jauh dari angka sempurna. Kota Denpasar mendapat skor tertinggi (6,71) disusul Tegal (6,26), Solo, (6,00), Yogyakarta dan Manokwari (5,81). Sedang dua kota yang mendapat poin terendah yakni Cirebon (3,61) dan Pekanbaru (3,61). Kota Jakarta berada di peringkat 38 dari 50 kota yang dinilai.
Kota-kota dengan skor tertinggi mengindikasikan bahwa para pelaku bisnis di sana menilai korupsi mulai menjadi hal yang kurang lazim terjadi, dan usaha pemerintah dan penegak hukum di sana dalam pemberantasan korupsi cukup serius. Sebaliknya, korupsi masih lazim terjadi dalam sektor-sektor publik, sementara pemerintah daerah dan penegak hukum kurang serius dalam pemberantasan korupsi, menurut persepsi para pelaku bisnis di kota-kota yang mendapat skor rendah
Untuk Kota Denpasar, skor IPK Indonesia 2010 sejalan dengan hasil Survei Integritas Pelayanan Publik 2009 yang dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi, yang menempatkan Denpasar sebagai salah satu kota dengan skor terbaik. Kota Solo dan Jogjakarta memang saat ini sedang menunjukkan prestasi di bidang reformasi birokrasi yang terefleksi dari skor IPK Indonesia yang cukup tinggi. Hal ini sejalan dengan prestasi kedua kota yang baru-baru ini juga mendapatkan Bung Hatta Anti Corruption Award. Sementara di kota dengan skor terendah, Pekanbaru dan Cirebon, pemberitaan media lokal maupun nasional memang dipenuhi oleh kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh aparat di sana (infokorupsi.com). Hal ini tentunya sangat mempengaruhi persepsi para pelaku bisnis di sana.
IPK Indonesia nampaknya juga sangat berpengaruh sebagai efek “cambuk” bagi pemerintah daerah kota yang mendapatkan skor rendah. Sebagai contoh Kota Tegal dan Kupang, yang pada tahun 2008 mendapatkan skor rendah, selama satu tahun ini menunjukkan inisiatif-inisiatif reformasi birokrasi yang berdampak pada meningkatnya skor kedua kota ini secara signifikan. Kota lain yang menunjukkan peningkatan skor yang signifikan dari 2008 ke 2010 adalah Manokwari, Kendari, dan Manado.
Sajian data di atas menunjukkan bahwa tingkat akuntabilitas sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia masih rendah. Tingginya angka korupsi menunjukkan bahwa mekanisme kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah sangat rendah. Sehingga perbaikan sistem kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah harus dilakukan.

Rekomendasi Akuntabilitas dan Korupsi

o   Penyusunan sistem kontrol dan payung hukumnya terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah sehingga terjadi check and balance yang baik. Hal ini dilakukan untuk memperkecil peluang korupsi, memperbaiki akuntabilitas dan pelayanan publik yang dilakukan pemerintah
o   Membangun budaya birokrasi yang baik


[1] Barita P. M. Siahaan. 2009. Perkembangan Pemekaran Daerah,.

[2] Deskripsi dan Analisis APBD 2011, Kementerian Keuangan RI, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
[3] ibid
[4] ibid
[5] ibid
[6] Source:  www.ti.or.id


[1] Slide Perkuliahan Ilmu Pemerintahan.2012.Andi Suwarko