Istilah dalam Otonomi daerah
Definisi Otonomi Daerah menurut UU
“Hak, wewenang dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat, sesuai peraturan per-UU-an.“
Definisi menurut UNDP
“Decentralized
governance, when carefully planned, effectively
implemented, and appropriately managed, can lead to significant improvement in the welfare of people at the
local level, the cumulative effect of which can lead to enhanced human
development. In addition, if decentralization involves real
devolution of power to local levels, the enabling environment for poverty reduction is likely to be stronger.
On the contrary, badly planned
decentralization can worsen regional
inequalities. Left to their own devices, richer regions are likely to develop faster than poor ones.
And a system of matching grants, intended by central government to motivate
local government to raise funds, typically exacerbates regional disparities.
Definisi
UNDP tersebut menjelaskan bahwa ketika sebuah konsep Otonomi Daerah direncanakan dengan baik dan implementasinya bisa
berjalan efektif, akan memiliki korelasi POSITIF
terhadap peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat di daerahnya
tersebut. Seperti berkurangnya angka kemiskinan
penduduk.
Pun juga sebaliknya jika direncanakan dengan tidak matang maka pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat tidak akan semakin baik, daerah yang kaya akan semakin kaya dan pertumbuhannya pesat sedangkan
daerah yang miskin akan miskin dan tertinggal. Sistem Desentralisasi pun akan
memperbesar peluang pemerintahan daerah untuk meraih keuntungan atau laba
sebesar-besarnya untuk memperkaya daerahnya. dll
Oleh
karena itu Otonomi Daerah perlu dikawal oleh seluruh
pihak untuk menjamin tercapainya pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat
yang lebih baik.
Manfaat Desentralisasi
Hadiz (2003: 16)
- Desentralisasi meningkatkan level transparansi dan akuntabilitas serta berkembangnya praktek good governance.
- Kebutuhan daerah akan terpenuhi secara lebih baik sebagai akibat diberikannya otonomi.
- Para penguasa akan dapat diawasi secara langsung oleh masyarakat setempat.
- Inisiatif penduduk lokal dan kreativitas publik akan berkembang bebas karena mengendornya pengawasan Pusat yang terlalu kuat pada berbagai aspek kehidupan masyarakat
Desentralisasi vs Dekonsentrasi
Desentralisasi
adalah penyerahan
wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem NKRI.
Dekonsentrasi
adalah pelimpahan
wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu
Otonomi Daerah vs Daerah Otonom
Otonomi Daerah
adalah hak, wewenang,
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Daerah Otonom
adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah
yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem NKRI.
Daerah Otonom vs Wilayah Administratif
Daerah Otonom merupakan
daerah, implikasi dari
asas Desentralisasi (hak atau wewenang
mengatur dan mengurus sendiri urusan RT-nya).
Wilayah Administratif
merupakan daerah, implikasi dari
asas Dekonsentrasi (hak atau wewenang mengatur dan mengurus urusan
Pemerintah Pusat di daerah; oleh aparat Pusat di daerah; dengan sumber daya
Pusat di daerah).
Pemerintah Daerah vs Pemerintahan Daerah
Pemerintah Daerah
adalah unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang terdiri
dari Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah.
Pemerintahan Daerah
adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip NKRI.
Bentuk Otonomi
Ada dua macam
bentuk otonomi daerah yang ada di Indonesia:
Pertama adalah Otonomi Luas, dimana penyerahan sebagian besar kewenangan pemerintahan
kepada daerah otonom. Di
Indonesia ini diberlakukan di tingkat Kabupaten dan Kota.
Kedua adalah Otonomi
Terbatas, dimana penyerahan
sebagian kecil kewenangan kepada daerah otonom. Di Indonesia ini
diberlakukan di tingkat Provinsi.
Prinsip Otoda
Ada beberapa
prinsip Otonomi Daerah yang menjadi keniscayaan dan landasan untuk menjalankan
sistem otonomi tersebut:
o
Adanya perhatian yang lebih terhadap aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta
tereksplorasinya potensi dan keaneka ragaman daerah.
Maksudnya
adalah dengan diberikannya otonomi daerah maka sebuah daerah tersebut dapat
melakukan pemilihan secara langsung oleh rakyat daerah terhadap pemerintah
daerahnya tersebut, rakyat dilibatkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
tersebut, hal ini tentunya akan berimplikasi pada kehidupan politik masyarakat
pada aspek demokrasi akan semakin meningkat karena partisipasi rakyat daerah
dengan nyata akan dilibatkan.
Dengan
adanya eksplorasi terhadap potensi dan keanekaragaman daerah jika dikelola dengan
baik, maka akan memberikan kesempatan yang sama bagi tiap-tiap daerah untuk
menikmati hasilnya tersebut.
- Ada dua bentuk otonomi yang diberikan oleh pemerintahan pusat, pertama adalah Otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. Yang diberlakukan di daerah kabupaten dan kota, sehingga asas perbantuan yang akan digunakan oleh pemerintah terhadap pemerintahan daerah dan desa dalam menjalankan kebijakannya, sedangkan untuk provinsi diberlakukannya otonomi terbatas menganut asas dekonsentrasi terhadap urusan pemerintah pusat.
- Tentunya hubungan antara pusat dan daerah, dan adanya kewenangan daerah tersebut mengelola daerahnya sehingga kemandiriannya sebagai daerah otonom akan meningkat, pun juga dengan pemerintahan di daerah peranan dan fungsinya akan meningkat, ini sesuai dengan konstitusi negara, sehingga terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Prasyarat Sukses Daerah Otonom[1]
- Pemerintah daerah menjalankan fungsi fasilitasi.
- Pemerintah daerah harus kreatif.
- Politik lokal stabil.
- Pemerintah daerah harus menjamin kesinambungan berusaha.
- Pemerintah daerah harus komunikatif dengan ornop.
Indikator Keberhasilan OTDA
Berdasarkan atas ruang lingkup kewenangan yang diberikan terhadap
pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya, maka ada beberapa hal yang dapat
dijadikan indikator keberhasilan dari otonomi daerah adalah
o
Indikator
di Sektor EKONOMI
o
Kita
bisa melihat keberhasilan OTDA lewat meningkatnya pendapatan nasional perkapita.
o
Kemudaian pengurangan jumlah penduduk miskin. berkurangnya pula tingkat pengangguran.
- Indikator di Sektor SOSIAL
- Terpenuhinya kebutuhan tenaga ahli di bidang pendidikan dan sosial, adanya keseimbangan antara rasio guru terhadap murid dan rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk, dll.
- Indikator di sektor PRASARANA DASAR
- Semakin baiknya dan berkembangnya prasarana perhubungan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Isu-Isu Otonomi Daerah
Pemekaran Daerah[1]
Pemekaran daerah merupakan suatu
langkah atau cara politik sebuah daerah dengan cara membagi atau memperluas sub
bagian wilayah dari daerah tersebut baik bagian atau daerah yang berbentuk
provinsi baru atau pun kabupaten baru. Tujuan dari dilakukannya upaya
pemerintah dalam pemekaran daerah ini adalah tidak lain dengan meningkatkan
berbagai pelayanan social yang diberikan dan meningkatkan kefektivan serta keefisiensian
sebuah daerah dalam mengatur atau mengelola daerahnya baik dilihat dari sector
perekonomian, politik serta pelayanan public untuk masyarakatnya.
Dalam Undang
Undang otonomi daerah, wacana pemekaran tidak terlepas dari pemberlakuan
prinsip-prinsip otonomi daerah. Hal
ini menyimpulkan bahwa pada prinsipnya otonomi daerah merupakan media atau
jalan untuk menjawab tiga persoalan mendasar dalam tata pemerintahan dan
pelayanan terhadap publik. Sehingga banyak orang berasumsi bahwa pemekaran
daerah merupakan langkah yang diambil setelah diberlakukannya otonomi daerah
yang merupakan:
- pemekaran daerah yang dilakukan oleh pemerintah merupakan jalan atau upaya untuk mendekatkan pemerintah kepada rakyat.
- melalui pemekaran daerah juga harus tercipta akuntabilitas yang terjaga dengan baik.
- pemekaran daerah diformulasikan menjadi langkah untuk mengupayakan responsiveness, dimana publik berpartisipasi aktif dalam pengambilan kebijakan.
Tujuan pemekaran daerah
Bersdasarkan pasal
2 PP 129/2000 disebutkan ada beberapa tujuan dibentuknya sebuah daerah baru
atau dilakukannya pemekaran daerah. Tujuan tersebut diantaranya:
- meningkatkan kesejahteraan masyarakat
- meningkatkan pelayanan masyarakat
- mempercepat pertumbuhan demokrasi
- mempercepat pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah
- mempercepat pengelolaan potensi daerah
- meningkatkan keamanan dan ketertiban
- meningkatkan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah
Pembentukan pemekaran daerah dan daerah otonom
Pemekaran daerah
dapat terjadi di setiap wilayah di Indonesia ini. Suatu daerah otonom dapat
melakukan suatu pemekaran dengan menggunakan sebuah media yaitu melihat
indikator keberhasilan pembangunan daerah selama penerapan otonomi daerah
tersebut, yang telah berusia enam tahun ini, sekaligus dapat dijadikan sebagai
dasar dalam melakukan pemekaran.
Indikator menilai kemajuan
Dalam implementasi
struktur, fungsi dan tugas dalam kepemerintahan suatu daerah dapat ternilai
apakah daerah tersebut mampu dalam menjalankan situasi, mengoperasikan serta
meningkatkan pelayanan dalam daerah otonomnya. Penilaian ini dilakukan dengan
melihat indikator yang secara sederhana dapat dikategorikan sebagai berikut:
- aspek ekonomi daerah. Indikator aspek ini akan menjawab seperti apakah nantinya kekuatan ekonomi dari daerah-daerah yang menjadi bagian dari wilayah yang hendak dimekarkan. Selanjutnya, potensi-potensi apa yang bisa dimaksimalkan dalam membangun ekonomi daerah. Ini perlu dilakukan, mengingat pertimbangan ekonomi adalah salah satu unsur utama didalam memandirikan suatu daerah. Sebab indikator ini menggunakan dasar penilaian dengan menggunakan dasar ”apakah pembangunan yang terjadi selama enam tahun terakhir ini adalah pembangunan yang merangsang pertumbuhan ekonomi di masyarakat lokal.” Hal ini perlu dijalankan dengan melakukan kajian mendalam, sehingga kelihatanlah seberapa besar pengaruh otonomi daerah, baik di tingkat kabupaten/kota maupun secara regional, untuk memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dengan demikian akan bisa kita ketahui bahwa apakah otonomi daerah selaras dengan upaya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.
- aspek pelayanan publik. Dalam konteks ini, harus dinilai seberapa dekat pemerintah daerah dengan masyarakat, yang tercermin dalam urusan-urusan pelayanan publik yang terbuka, efisien dan efektif. Apakah publik merasa dipuaskan melalui pelayanan pemerintah lokal, atau justru pemerintah lokal mengharapkan pelayanan dari masyarakat. Apakah mental-mental KKN dan primordialisme masih sangat kental dalam urusan-urusan publik. Masih terdapat ketidakadilan, kemudian politik kongkalikong di antara elit lokal masih kerap terjadi.
- aspek pembangunan demokrasi politik. Menjadi penting juga mengkaitkan antara pelaksanaan otonomi daerah dengan upaya-upaya pelembagaan demokrasi ditingkat lokal. Potret ini bisa terlihat dari beberapa kritiskah rakyat dalam melihat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah lokal? Atau seberapa besarkah kontribusi dari masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan strategis di daerahnya ?
Indikator
diatas merupakan sebagai batu loncatan yang harus dipertimbangkan baik-baik
oleh pemerintah dalam menyetujui terbentuknya daerah baru dari pemekaran
otonomi daerah. Sehingga pada akhirnya daerah yang dimekarkan dapat
sungguh-sungguh mampu dalam mengelola daerahnya.
Jawaban
supaya suatu daerah mampu melewati indikator dan membentuk sebuah daerah baru
atau memekarkan daerahnya adalah dengan mempercepat laju pertumbuhan
pembangunan daerahnya dari berbagai aspek kegiatan kepemerintahannya. Menurut
Marselina (Unila, 27-4-2006), percepatan pembangunan di daerah otonom bisa
dilakukan dengan cara:
- mendorong dan membuka pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru
- desentralisasi pembangunan dan pelayanan publik
- belanja pembangunan dalam APBD yang tepat dan terfokus; dan
- strategi pemekaran sebagai opsi terakhir yang menjadi awal rencana memekarkan daerah.
Kerja Sama Daerah
Kesepakatan antara
Gubernur dengan Gubernur atau Gubernur dengan Bupati/Walikota atau antara
Bupati/Walikota dengan Bupati/Walikota yang lain dan atau Gubernur,
Bupati/Walikota dengan pihak ketiga secara tertulis serta menimbulkan hak dan
kewajiban
Latar Belakang Kerjasama Daerah
Adanya keterkaitan antara daerah satu dengan yang lain, adanya perbedaan
sumber daya yang dimiliki oleh daerah-daerah, Adanya daerah-daerah yang surplus
fasilitas atau sumber daya, dan kemungkinan duplikasi pelayanan yang diberikan
daerah padahal berdekatan.
Kondisi yang seperti itulah yang melatar belakangi digagasnya kerjasama
antar daerah dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi dalam ukuran-ukuran
skala ekonomi, meningkatkan efektivitas dan kualitas pelayanan publik.
Prinsip Kerjasama Antar Daerah
1.
efisiensi;
2.
efektivitas;
3.
sinergi;
4.
saling
menguntungkan;
5.
kesepakatan
bersama;
6.
itikad
baik;
7.
mengutamakan
kepentingan nasional dan keutuhan wilayah NKRI
8.
persamaan
kedudukan;
9.
transparansi;
10. keadilan; dan
11. kepastian hukum.
Dasar Hukum
•
UU
no. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 195 “dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat,
daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada
pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinergi dan saling
menguntungkan.” pasal
196, pasal 197 dan pasal 198
•
Peraturan
Presiden nomor 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
dalam Penyediaan Infrastruktur.
•
Permendagri
nomor 3 tahun 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kerjasama Daerah.
Bentuk Kerjasama
Tabel 1.1.
bentuk-bentuk kerjasama antar daerah
Model Kerjasama
Tabel 1.2.
Model-model kerjasama antar daerah
Bentuk Kerjasama dalam pelayanan publik
o
Handshake Agreement, kerjasama
informal antar pemerintah daerah. Tidak adanya dokumen perjanjian kerjasama
yang formal. Kerjasama didasarkan pada komitmen dan kepercayaan secara politis
antar daerah terkait, bentuk kerjasama ini cukup efisien dan fleksibel dalam
pelaksanaannya karena tidak ada kewajiban yang mengikat bagi masing-masing
pemerintahan.
o
Fee for service contracts (service
agreements), satu daerah “menjual” satu bentuk pelayanan publik kepada
daerah lain, Misal pemerintah daerah A menjual Listrik atau Air ke daerah B,
bisa karena daerah B tidak memiliki sumber daya untuk menghasilkan itu, atau
sedang kekurangan. Dengan sistem kompensasi harga dan jangka waktu yang telah
disepakati. Keunggulan kerjasama ini dapat diwujudkan dalam waktu relatif cepat.
Selain itu daerah yang menjadi pembeli tidak perlu mengeluarkan biaya awal
dalam penyediaan pelayanan, kendalanya biasanya sulit menentukan harga yang
disepakati.
o
Joint Agreement, partisipasi dari
daerah-daerah dalam penyediaan atau pengelolaan pelayanan publik,
pemerintah-pemerintah daerah berbagi kepemilikan kontrol, dan tanggung jawab
terhadap program. Sistem ini biasanya tidak memerlukan perubahan struktur
kepemerintahan yang ada, kelemahannya dokumen perjanjian yang dihasilkan
biasanya sangat rumit dan kompleks karena harus mengakomodasi sistem birokrasi
dari pemda-pemda yang bersangkutan.
Sumber Daya Aparatur
Kelembagaan
Adanya konsep desentralisasi atau otonomi daerah yang diterapkan di
Indonesia, tentunya akan berkonsekuensi pada pembentukan kelembagaan tersendiri
di badan pemerintahan daerah tersebut, kebutuhan perubahan struktur organisasi,
meliputi pembagian kewenangan, dan juga tupoksi, karena adanya pemberian
wewenang yang awalnya dipegang pusat menjadi dikelola oleh pemerintahan daerah
secara mandiri.
Secara umum ada
beberapa kriteria penataan struktur organisasi
- Semakin tinggi tingkat pembagian kerja, semakin besar ukuran organisasi.
- Semakin tinggi tingkat kompleksitas urusan, maka makin besar organisasi diperlukan.
- Semakin tinggi tinggi tingkat rutinitas pekerjaan, maka makin tinggi tingkat sentralistis sebuah organisasi.
- Semakin tinggi tingkat pekerjaan non rutinitas, maka makin tinggi tingkat desentralisasinya.
- Semakin besar suatu organisasi maka makin besar jumlah personilnya.
- Semakin besar suatu organisasi maka makin diperlukan banyak sumber daya yang diperlukan.
- Semakin luas wilayah kerja, makin besar ukuran organisasinya.
- Semakin tinggi tingkatan teknologi, semakin kecil ukuran organisasinya.
- Semakin tinggi variasi budaya, makin besar variasi sebuah organisasi.
- Semakin tinggi tingkat kemitraan, makin tinggi tingkat efisiensi kerja.
- Semakin banyak hubungan kerja, semakin besar ukuran sebuah organisasi.
- Semakin rendah tingkat disiplin pegawai, semakin besar ukuran organisasi pengawasan atau pembinaan.
- Makin rendah tingkat stabilitas atau keamanan, makin besar ukuran organisasi.
- Makin tinggi kompleksitas, makin tinggi tuntutan akan kualitas kepemimpinan.
Sumber Daya Manusia
Selain itu pemerintahan daerah juga memiliki kewenangan mengelola dan
mengatur kepegawaian Negara, meliputi Kualitas, Distribusi Tugas, Mutasi,
Promosi dan Penempatan jabatan para pegawai negeri (Birokrat).
Keuangan Daerah APBD[2]
Adanya kewenangan dari pemerintahan
daerah untuk mengelola dan mengatur rumah tangganya sendiri, berimplikasi pada
adanya suatu anggaran yang dikelola oleh pemerintahan daerah untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangganya.
Belanja dalam APBD dialokasikan untuk melaksanakan program/kegiatan
sesuai dengan kemampuan pendapatannya, serta didukung oleh pembiayaan yang
sehat sehingga diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah,
pemerataan pendapatan, serta pembangunan di berbagai sektor. Pencapaian tujuan
tersebut diharapkan dapat dilakukan melalui peningkatan potensi penerimaan
pajak dan retribusi daerah ditambah dengan dana transfer dari pemerintah Pusat
yang digunakan untuk mendanai penyelenggaraan layanan publik dalam jumlah yang
mencukupi dan juga berkualitas. Dengan belanja yang berkualitas diharapkan APBD
dapat menjadi injeksi bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Namun demikian, sebagaimana selalu terjadi dalam pengelolaan keuangan
publik, selalu terjadi kendala penganggaran (budget constraint), yang
tercermin dari banyaknya kebutuhan yang dihadapkan pada keterbatasan sumber-sumber
pendapatan daerah. Oleh karena itu, prioritas belanja dan perencanaan yang baik
dapat menjadi kunci untuk menyiasati kendala penganggaran. Terkait dengan hal
tersebut, secara nasional kiranya perlu dilakukan analisis tentang kesehatan
keuangan APBD yang mampu memberikan informasi yang berguna dalam memotret
kondisi keuangan APBD baik dari sisi pendapatan, belanja, maupun pembiayaan.
Di sisi pendapatan, analisis kesehatan keuangan APBD dilakukan dengan
melihat beberapa hal, yaitu: rasio pajak (tax ratio), ruang fiskal (fiscal
space), serta rasio kemandirian daerah. Rasio pajak mencerminkan hubungan
pajak daerah dengan pendapatan domestic regional bruto (PDRB) daerah.
Ruang Fiskal merupakan rasio yang menggambarkan besarnya pendapatan yang
masih bebas digunakan oleh daerah untuk mendanai program/kegiatan sesuai
kebutuhannya. Penghitungan Ruang Fiskal diperoleh dengan mengurangkan seluruh
pendapatan dengan pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked)
dan belanja wajib seperti belanja pegawai dan bunga.
Rasio kemandirian daerah dicerminkan oleh rasio Pendapatan Asli Daerah
terhadap total pendapatan, serta rasio transfer terhadap total pendapatan. Dua
rasio tersebut memiliki sifat berlawanan, yaitu semakin tinggi rasio PAD
semakin tinggi kemandirian daerah dan sebaliknya untuk rasio transfer.
Di sisi belanja daerah, analisis meliputi rasio belanja pegawai terhadap
total belanja, rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja,
rasio belanja modal per total belanja, rasio belanja per jumlah penduduk, serta
rasio belanja modal per jumlah penduduk. Semua rasio tersebut menunjukkan
kecenderungan pola belanja daerah, apakah suatu daerah cenderung mengalokasikan
dananya untuk belanja yang terkait erat dengan upaya peningkatan ekonomi,
seperti belanja modal, atau untuk belanja yang sifatnya untuk pendanaan
aparatur, seperti belanja pegawai tidak langsung.
Analisis APBD juga meliputi analisis atas defisit/surplus dan pembiayaan
yang meliputi analisis defisit/surplus, Selisih Lebih atas Perhitungan Anggaran
(SiLPA), penerimaan pembiayaan melalui pinjaman, serta rasio keseimbangan
primer. Dari analisis di sisi bellow the line ini ternyata terdapat
beberapa hal yang perlu dicermati. Salah satunya adalah adanya beberapa daerah
yang menganggarkan defisit namun anggaran pembiayaannya tidak mencukupi untuk
menutup defisit tersebut. Paling tidak terdapat 20 kabupaten/kota yang
mengalami kejadian ini. Hal ini menunjukkan tidak sehatnya APBD mereka, karena
dengan demikian belanja menjadi tidak jelas sumber pendanaannya. Sebaliknya,
kondisi yang berlawanan juga terjadi dimana terdapat beberapa daerah yang
menganggarkan surplus penerimaan (yang berarti terjadi selisih positif antara
defisit/surplus dengan netto pembiayaan). Hal ini menunjukkan bahwa
daerah-daerah tersebut memang mentargetkan SiLPA mereka. Terlepas dari apapun
tujuan target SiLPA, namun hal ini tidak layak dilakukan dalam pola pengelolaan
keuangan yang sehat, karena akan menimbulkan tidak efisiennya penggunaan budget
untuk membiayai peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta mendorong munculnya
dana yang off budget. Di samping itu, hal ini kemungkinan dapat juga
disebabkan oleh ketidakmampuan SDM pengelola keuangan daerah dalam melakukan
perencanaan anggaran.
Rasio Income
Terlihat dari grafik tersebut beberapa rasio yang terkait dengan
pendapatan daerah. Rasio PAD dibandingkan total pendapatan daerah yang
tertinggi adalah di wilayah Jawa dan Bali yaitu sebesar 32,9% sedangkan yang
terendah di wilayah Nusa Tenggara, Maluku, Papua yang hanya sebesar 6,3%. Hal
ini menunjukkan bahwa tingkat kemandirian seluruh daerah yang berada di wilayah
Jawa dan Bali relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Fakta tersebut diperkuat juga dengan rendahnya rasio dana perimbangan dan
transfer ke daerah dibandingkan total pendapatan. Berdasarkan dua rasio
tersebut Jawa dan Bali hanya memiliki ketergantungan terhadap dana perimbangan
dan transfer ke daerah masing-masing sebesar 59,2% dan 65,6%. Wilayah yang
memiliki tingkat ketergantungan tertinggi terhadap dana perimbangan adalah di
wilayah Kalimantan dimana rasio dana perimbangan terhadap total pendapatannya
mencapai 80,9% persen. Sedangkan untuk rasio transfer ke daerah terhadap total
pendapatan maka wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua menjadi wilayah yang
tertinggi hingga mencapai 92,3%. Besarnya rasio tersebut ditengarai berasal
dari adanya pengalokasian dana otonomi khusus dan dana penyesuaian yang relatif
lebih besar bila dibandingkan dengan wilayah lainnya.[3]
Rasio Belanja Daerah
Bila dilihat besaran belanja daerah yang dianggarkan pada APBD TA 2011
antar wilayah maka dapat diketahui bahwa belanja pegawai tetap merupakan porsi
terbesar yang harus dibelanjakan oleh daerah, selanjutnya baru diikuti oleh
belanja modal serta belanja barang dan jasa.
Belanja pegawai di wilayah Sulawesi mencapai 52,5% sedangkan wilayah
Kalimantan belanja pegawainya hanya sekitar 37,5%. Fakta tersebut juga didukung
oleh rasio pegawai terhadap jumlah total penduduk yang mencapai 1,38% di
wilayah Sulawesi. Tetapi rasio pegawai di wilayah Kalimantan (1,26%) bukanlah
yang terendah karena rasio pegawai per total penduduk di wilayah Jawa hanya
mencapai 0,6%.
Bisa diartikan bahwa jumlah pegawai di wilayah Jawa sangat rendah karena
total penduduk di wilayah tersebut sangat banyak sehingga rasio belanja pegawai
terhadap total belanja juga besar yaitu sekitar 50,6%. Ironisnya berbagai
pengeluaran kegiatan yang terangkum dalam akun belanja modal di wilayah Jawa
sangat kecil yaitu hanya sekitar 18,3%. Hal ini bisa berarti bahwa di satu sisi
kebutuhan infrastruktur di Jawa dan Bali relatif rendah sehingga setiap daerah
di wilayah tersebut tidak perlu menganggarkan terlalu banyak belanja modal atau
memang karena APBD di semua daerah di Jawa dan Bali sudah terlalu berat untuk
memberikan pelayanan publik yang tercermin dari besarnya jumlah pegawai dan
rasio belanja pegawai per total belanjanya.
Wilayah Kalimantan menunjukkan geliat pembangunan infrastruktur yang
paling signifikan tercermin dari rasio belanja modalnya yang mencapai sekitar
32,3% dan belanja barang dan jasanya juga relatif tinggi yaitu sekitar 21,1%.[4]
Surplus, Defisit, dan Pembiayaan Daerah
Besarnya defisit APBD TA 2011 yang paling tinggi terjadi di wilayah
Kalimantan yang mencapai -12,2%. Sedangkan untuk menutup defisit tersebut
seluruh daerah di wilayah Kalimantan mengandalkan SiLPA yang bisa langsung
digunakan untuk mendanai kebutuhan belanja yang belum tersedia dananya, rasio
SiLPA terhadap total belanja daerah adalah sebesar 12,4%. Tetapi untuk
mengantisipasi tidak tercapainya pendapatan daerah yang dianggarkan maka
seluruh daerah di wilayah Kalimantan berencana mengajukan pinjaman yang
rasionya mencapai 1,0% dari total pendapatan.
Wilayah Sulawesi menganggarkan defisit sebesar -3,4% dengan rasio SiLPA
sebesar 3,8%. Rasio pinjaman terhadap total pendapatan Sulawesi sebesar 1,6%
menunjukkan adanya kecenderungan bahwa dalam melakukan proyeksi pendapatan
daerah-daerah di Sulawesi tidak terlalu yakin akan tingkat ketercapaian
pendapatan yang berasal dari PAD maupun dana transfer ke daerah. Besarnya
ketergantungan atas dana transfer ke daerah serta risiko fiskal yang harus
ditanggung oleh APBN menyebabkan seluruh daerah sebaiknya juga harus mulai
melakukan perhitungan risiko fiskal yang harus ditanggung. Porsi belanja
pegawai yang tinggi menyebabkan berkurangnya alternatif efisiensi belanja
daerah. Sehingga daerah harus mulai lebih inovatif dan kreatif untuk
meningkatkan pendapatan asli daerahnya dengan ekstensifikasi dan intensifikasi
pajak daerah dan retribusi daerah agar alternatif pendanaan untuk menutup
defisit tidak semata tergantung pada SiLPA dan pinjaman daerah.[5]
Otonomi Daerah dan Demokrasi
Otonomi daerah akan berimplementasi pada lebih hidupnya kehidupan
berpolitik rakyat di daerah, tentunya hal ini tidak akan terlepas dari syarat
penerapan demokrasi secara nyata pada kehidupan masyarakat daerah.
Dengan diberlakukannya demokratisasi pada kehidupan masyarakat daerah,
maka partisipasi rakyat daerah akan semakin besar dan semakin luas pula. mulai
dari proses pemilihan umum yang dilakukan secara langsung untuk memih wakil
rakyat yang nanti akan mengelola pemerintahan, pun juga daalm proses
partisipasi selama berjalannya roda pemerintahan, rakyat bisa mengaspirasikan
pendapatnya.
Adanya otonomi daerah pun menjadikan rakyat daerah lebih mengetahui
bagaimana kondisi dan seluk beluk daerahnya, yang biasanya menimbulkan
etnosentrisme tertentu dari rakyat daerah tersebut, belum lagi adanya pemilu
kada yang diselenggarakan akan membuat semakin jelasnya diferensiasi dan
semakin tajam pertentangan antara kelompok-kelompok sosial yang ada di
masyarakat daerah tersebut.
Semakin panjangnya rentang kendali antara pemerintah pusat terhadap
daerah menyebabkan kurangnya kontrol dan kepekaan pemerintahan pusat terhadap
kondisi-kondisi di daerah.
Akuntabilitas
Definisi akuntabilitas
Kewajiban untuk
menyampaikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan
tindakan seseorang / badan hukum / pimpinan kolektif atau organisasi kepada
pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau
pertanggungjawaban.
Kinerja:
Perwujudan
kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan
kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai sasaran dan tujuan yang
telah ditetapkan melalui sistem pertanggungjawaban secara periodik
Menurut Prof. Dr. Miriam
Budiardjo akuntabilitas adalah pertanggungjawaban
pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberi mandat
itu. Menciptakan
pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah
sehingga mengurangi penumpukan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling
mengawasi (checks & balances system).
Ruang lingkup akuntabilitas
Jaminan
pemenuhan & penghormatan hak-hak
Masyarakat:
1.
Hak
memperoleh pelayanan & perlakuan yang layak.
2.
Hak
mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara;
3.
Hak
diikutsertakan dalam merencanakan kinerja program atau kegiatan pemerintah / Penyelenggara Negara.
4.
Hak
menilai pencapaian kinerja pelayanan publik.
5.
Hak
menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan Penyelenggara
Negara; dan
6.
Hak
memperoleh perlindungan hukum.
Jaminan
pelaksanaan KEWAJIBAN Penyelenggara Negara
1.
Menyusun
Rencana Kinerja dan menyampaikan pada masyarakat diawal setiap tahun anggaran.
2.
Melakukan
pengukuran pencapaian kinerja dan menyampaikan hasilnya pada masyarakat diakhir
tahun.
3.
Melakukan
pengukuran kepuasan masyarakat dan menyampaikan hasilnya atas program yang
dijalankan.
4.
Memberikan
tanggapan thd pengaduan & kebutuhan masyarakat.
5.
Memperbaharui
rencana kinerja yang baru sebagai kesepakatan komitmen (kontrak sosial) baru.
Jaminan
pemenuhan dan
penghormatan hak-hak Publik
1.
Hak
publik untuk membaca dan mendapatkan dokumen resmi (official document).
2.
Hak
aparatur penyelenggara negara, termasuk aparatur pemerintah daerah untuk
menyampaikan informasi tentang apa yang ia ketahui kepada siapapun (freedom
of expression of civil servant)
3.
Hak
aparatur penyelenggara negara untuk menyampaikan informasi atau dokumen kepada media massa.
4.
Hak
publik dan media massa untuk menghadiri persidangan (access to court
hearings).
5.
Hak
publik dan media massa untuk hadir pada pertemuan-pertemuan resmi parlemen (Swedish
Parliament), Municipal Assembly, dan Country Council.
Jenis-jenis Akuntabilitas
Prof. Bintoro
Tjokroamidjojo
- Akuntabilitas politik dari pemerintah melalui lembaga perwakilan.
- Akuntabilitas keuangan melalui pelembagaan budget dan pengawasan BPK.
- Akuntabilitas hukum, dalam bentuk aturan hukum, reformasi hukum dan pengembangan perangkat hukum.
- Akuntabilitas ekonomi (efisiensi), dalam bentuk likuiditas dan (tidak) kepailitan dalam suatu pemerintahan yang demokratis, tanggung gugat rakyat melalui sistem perwakilan.
Dadang Solihin
- Akuntabilitas Eksplisit.
Pertanggungjawaban
pejabat negara manakala diharuskan untuk menjawab / memikul konsekuensi atas
cara-caranya dalam melaksanakan tugas kedinasan.
- Akuntabilitas Implisit
Segenap aparatur negara
secara implisit bertanggung jawab atas setiap pengaruh yang tak terduga dari
akibat-akibat keputusan yang dibuat
Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance, NPM, RG dan NPS)
Asumsi pemerintahan daerah yang ada
di Indonesia
Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh penulis, keseluruhan konsep
pemerintahan yang baik tersebut memiliki latar belakang dan konteks sosial
budaya berasal dari ideologi liberalis, dan ketika konsep tersebut diterapkan
pada negara-negara lain sering kali mengalami modifikasi, dikarenakan bias
ideologi tersebut. Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh penulis,
keseluruhan konsep pemerintahan yang baik tersebut ( Good Governance, NPM, RG,
dan NPS ) memiliki latar belakang dan konteks sosial budaya berasal dari
ideologi liberalis, dan ketika konsep tersebut diterapkan pada negara-negara
lain sering kali mengalami modifikasi, dikarenakan bias ideologi.
Besarnya campur tangan pemerintah dalam kehidupan masyarakat
Sebagai mana yang kita ketahui Indonesia tidak lah sepenuhnya menganut
ideologi liberal, hal ini dapat dilihat dari masih cukup besarnya campur tangan
pemerintah dalam mengelola kehidupan masyarakatnya. Adanya bias ideologi tersebut
yang termanifestasi dalam peraturan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah,
tentunya akan mempengaruhi perbedaan implementasi dan konsep yang tepat untuk
pemerintahan yang baik di konteks Indonesia.
Pun demikian juga dengan kondisi pemerintahan di daerah, tidak akan jauh
berbeda dengan ketentuan pemerintah pusat, misalnya adanya Badan Usaha Milik
Daerah yang menjadi salah satu sumber pendapatan pemerintah. Masih
dimonopolinya sektor-sektor yang dianggap vital bagi masyarakat pengelolaannya
masih dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
Contoh penerapan
konsep pemerintahan yang baik di Indonesia
•
Kota
Surabaya à tahun 2010-2012 pelaksanaan konsep e-goverment
•
Kab. Sleman à tahun
2004 membuat neraca yang diaudit oleh Akuntan Publik Independen dan memuatnya
di Harian Kompas.
•
Kab. Jembrana à efisiensi
pemerintahan (5 Dinas, regrouping sekolah, penghapusan kendaraan & rumah
dinas, dll).
•
Kota Palangkaraya à mekanisme
untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap kinerja pemberian pelayanan
publik oleh pemerintah daerah
•
Kota Bandung à pelayanan kebutuhan air bersih dikelola secara swakelola. Caranya, RW
membangun sumur artesis (sekitar 60m) dan menjualnya kepada warga sekitar dengan
harga yang lebih murah dibanding harga PDAM. Dalam hal ini, implementasi good
local governance terlihat dari posisi masyarakat bertindak selaku penyedia
jasa layanan (service provider), pengguna (service user),
sekaligus kelompok kepentingan (concern groups).
Evaluasi dan Rekomendasi
Bahaya Desentralisasi
(Prud’Homme,
1985)
1.
Makin tingginya disparitas antar daerah
Potensi dan kemampuan setiap daerah berbeda-beda,
terutama dalam pemilikan sumber daya, sementara desentralisasi berarti
memberikan kewenangan yang luas kepada daerah dalam mengurusi aktivitasnya
termasuk aktivitas ekonomi. Daerah bebas dalam mengolah sumber daya, menerapkan
kebijakan fiskal. Karena potensi dan kemampuan daerah berbeda-beda, maka
disparitas antar daerah akan semakin tinggi. Daerah yang kaya dan memiliki
struktur ekonomi yang lebih seimbang akan melaju cepat, sementara itu Daerah
yang miskin akan ketinggalan.
2.
Inefisiensi produksi dan alokasi.
Daerah akan memaksakan diri dalam melakukan produksi
suatu komoditas tertentu meskipun secara ekonomis tidak terlalu menguntungkan,
sehingga secara nasional dapat dinilai sebagai inefisiensi dalam alokasi sumber
daya. Sumber daya yang seharusnya dialokasikan untuk komoditas lain, karena
motivasi kemandirian, akhirnya dialokasikan kepada komoditas tertentu yang
kurang efisien.
3.
Instabilitas yang berpangkal dari luasnya kewenangan daerah dalam
kebijakan fiskal.
“Meskipun desentralisasi fiskal memberikan manfaat di
beberapa negara seperti China, India, negara-negara Amerika Latin, serta
negara-negara lain di belahan di dunia ini, namun di sisi lain memunculkan 3
masalah utama, yaitu: meningkatnya ketidakadilan (kesenjangan), instabilitas
makroekonomi, dan adanya resiko kewenangan lokal yang dapat menyebabkan
kesalahan dalam alokasi sumber daya” (World Development Report: The State in
a Changing World, 1997).
Pemekaran Wilayah
Dasar berfikir diadakannya pemekaran
yaitu untuk meningkatkan
pelayanan publik dan mendekatkan Pemerintah Daerah dengan masyarakat daerahnya namun
realitasnya dilapangan harapan ini tak sejalan sepenuhnya dengan apa yang
dibayangkan.
- Implikasi Pemekaran:
- Sumber daya keuangan semakin terbatas.
- Meningkatkan overhead-cost.
- Memperbanyak aktor (institusi) Pemerintah Daerah.
- Mendorong pembentukan lembaga vertikal: Polisi, Militer, Kejaksaan, PN, dll.
- Pemekaran tanpa analisis komprehensif terhadap kelayakan teknis, administratif, politik dan potensi daerah.
- Fakta kesenjangan pembangunan dijawab dengan pemekaran tanpa menyelesaikan masalah pokoknya.
- Pemekaran justru melemahkan kemampuan fiskal daerah karena adanya pembagian sumber daya.
- Ilustrasi pemekaran: sakit kepala diobati dengan obat sakit perut.
- Sumber penerimaan tergantung pada Pusat (94%), dan harus dibagi menjadi dua. Akibatnya, kapasitas fiskal semakin melemah.
- Menurunnya kapasitas fiskal akan berdampak menurunnya kemampuan pembiayaan pelayanan publik secara keseluruhan (secara parsial mungkin menguntungkan daerah baru).
- Daerah yang lemah secara ekonomi akan sulit membangun daerahnya pada jangka panjang.
- Menciptakan kendala baru berupa kebutuhan pembiayaan birokrasi (overhead-cost).
- Masyarakat secara umum yang mendapat dampaknya. Kasus: Kalimantan timur sebagai Provinsi terbesar APBD-nya, namun jumlah penduduk miskinnya terbanyak se-Kalimantan (2007).
- Demokrasi tidak hanya dilakukan dengan pemekaran, tapi bisa juga dengan devolusi kekuasaan (baik dengan sistem federalisme maupun otonomi luas).
- Kasus Indonesia : Kesenjangan antar wilayah : Jawa saja yg “Layak” dimekarkan dan menjadi demokratis, sedang luar Jawa sulit dimekarkan karena sedikitnya jumlah penduduk.
- Pemekaran membuat rentang kendali semakin panjang, sehingga mempersulit mekanisme koordinasi, pengawasan & pembinaan oleh Pusat terhadap Daerah.
- Pemekaran berimplikasi terhadap berkurangnya jumlah dan kemampuan anggaran (fiscal capacity) baik bagi daerah baru hasil pemekaran maupun daerah induknya.
- Pemekaran memicu orientasi menggali PAD melalui penetapan Perda retribusi yang menjadikan iklim usaha kurang kondusif.
- 76 % daerah hasil pemekaran mengalami kemunduran dari sebelumnya, dengan indikator jumlah masyarakat miskin meningkat (Priyo Budi Santoso, Suara Pembaruan: 10-4-2007).
- Laporan Depdagri 2006: dari 148 daerah otonom baru yang dievaluasi, sekitar 80 % masuk kategori bermasalah dan gagal. Data Dep. Keuangan 2007: mayoritas daerah pemekaran tergolong berkemampuan keuangan rendah. BPK juga menyebutkan, pemekaran berdampak negatif pada perekonomian, sebab membebani keuangan negara (Kompas, 31-5-2007 ).
- Pemekaran yang tidak terencana menyulitkan penentuan daerah pemilihan untuk Pemilu 2009 (Mendagri, Kompas, 9-3-2007).
- Daerah otonom baru belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara signifikan (Mendagri, Kompas, 23-10-2007).
- "Bukan rahasia lagi, lebih dari 90 % APBD daerah otonom baru disubsidi dari APBN” (Ryaas Rasyid, Kompas, 23-10-2007).
- Letak daerah yang jauh dari pusat pemerintah bukanlah masalah yang harus diatasi dengan pemekaran. Akibatnya, banyak daerah baru hasil pemekaran justru menjadi beban pemerintah (Taliziduhu Ndraha, Kompas, 13-3-2007).
- Pemekaran belum menyentuh kesejahteraan publik terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan dan layanan umum. Pemekaran lebih banyak memberikan keuntungan bagi segelintir elite dan kelompok birokrasi maupun pengusaha saja (Suara Karya, 21-5-2007).
- Pemekaran menimbulkan ketidakefisienan secara ekonomi. Ini terlihat dari munculnya banyak perda yang berbeda di tiap daerah (Kompas, 24-4-2007).
Fakta lain tentang Pemekaran Wilayah
10
Aspek Penilaian Evaluasi Perkembangan DOB
Di dalam
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, antara lain diamanatkan perlunya dilakukan
evaluasi daerah otonom baru yang berusia 0-3 tahun. Tujuan dari program ini
adalah untuk mengetahui tingkat perkembangan penyelenggaraan pemerintahan pada
DOB yang saat ini berjumlah 57 daerah.
Instrumen
evaluasi per-kembangan DOB telah ditetapkan dalam Peraturan Mendagri Nomor 23
Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Perkembangan Daerah Otonom
Baru, yang meliputi 10 aspek penilaian, yaitu:
1)
Pembentukan organisasi perangkat daerah;
2) Pengisian
personil;
3) Pengisian
keanggotaan DPRD;
4) Penyelenggaraan
urusan wajib dan pilihan;
5) Pembiayaan;
6) Pengalihan
aset, peralatan dan dokumen;
7) Pelaksanaan
penetapan batas wilayah;
8) Penyediaan
sarana dan prasarana pemerintahan;
9) Penyiapan
rencana umum tata ruang wilayah;
10) dan
Pemindahan Ibukota bagi daerah yang Ibukotanya dipindahkan.
Studi Empiris Data statistik
Pemekaran Wilayah
Instrumen evaluasi perkembangan
daerah otonom baru ini telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 23 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Perkembangan Daerah
Otonom Baru.
Dari hasil evaluasi terhadap 57
Daerah Otonom Baru (DOB) sebanyak 13 DOB (22,8 persen) usia satu tahun dan dua
tahun telah menunjukkan perkembangan yang baik. Artinya, satu DOB usia satu
tahun telah melampaui nilai 60 dan 12 DOB usia dua tahun telah melampaui nilai
70.
Sementara itu, sebanyak 44 DOB
(77,2 persen) usia satu tahun dan dua tahun yang masih masuk kategori penilaian
sedang sebanyak 27 DOB, masuk kategori kurang baik 13 DOB, dan kategori tidak
baik sebanyak empat DOB yang masih memerlukan pembinaan dan fasilitasi khusus dalam
beberapa hal antara lain:
- Penyusunan perangkat daerah belum dapat diselesaikan
- Pengisian personil belum memenuhi kompetensi
- Urusan wajib dan urusan pilihan belum dapat dilaksanakan
- Sebagian besar DOB memiliki jumlah penduduk yang kurang memadai
- Pengalihan pembiayaan, peralatan/aset dan dokumen masih tersendat-sendat
- Alokasi anggaran APBD untuk pelaksanaan pembangunan dan pelayanan pendidikan, kesehatan, serta administrasi kependudukan, masih sangat minim. Sedangkan pada umumnya belanja personil di atas 60 persen
- Penetapan batas wilayah belum dimulai; penyediaan sarana dan prasarana pemerintah belum selesai
- dan hampir seluruh Daerah Induk belum dapat memindahkan ibukotanya (pembentukan DOB Kota, Kabupaten Induk harus memindahkan ibukotanya), sehingga banyak menimbulkan permasalahan dengan pemerintahan di DOB.
Rekomendasi Pemekaran Daerah
o
Pengetatan syarat pemekaran wilayah supaya tidak
terjadi kegagalan pemerintahan, karena minimnya infrastruktur dan kurang
mandirinya pengelolaan pemerintah daerah
o
Tetap adanya intervensi pemerintah pusat
terhadap pengelolaan sumber daya daerah dengan orientasi pemerataan sumber daya
kepada daerah-daerah yang kurang sumber daya
Kerjasama Antar Daerah
1.
Banyak terjadi konflik yang terjadi karena tidak
ada kejelasan dan kesepakatan antar daerah,
Contoh: Pemprov DKI membangun tanggul di
Kali Mokervart. Belum ada komunikasi dengan wilayah penyangga
(Bodetabekjur). Pemkot Tangerang menganggap tanggul tsb berada
di wilayahnya, kemudian membatalkan proyek tsb.
Pokok masalah: lemahnya koordinasi, tidak jelasnya batas kewenangan,
ketiadaan visi yg sama, lembaga pengelola kerjasama tidak optimal, dll.
2.
Belum dioptimalisasikannya konsep kerjasama
antar daerah ini di Indonesia. Padahal bisa sangat potensial untuk saling
menutupi kebutuhan antar daerah dan sarana distribusi komoditas unggulan daerah
ke daerha-daerah selainnya
Rekomendasi Kerjasama Antar Daerah
1.
Musyawarah secara mufakat, atau Perlibatan
pemerintah netral disini Mendagri atau Gubernur provinsi terkait, untuk
menyelesaikan masalah tersebut, jika ada masalah lebih lanjut bisa diajukan ke
MA untuk penanganan lebih lanjut
2.
Pembuatan kontrak kerja secara formal tertulis,
dan disepakati kedua belah pihak, komunikasi intensif dan pengawasan secara
bersama diketahui bersama oleh aparat daerah bersangkutan dalam proyek
tersebut.
3.
Memfasilitasi distribusi hasil produksi daerah
untuk disalurakan ke daerah selainnya, dengan mendirikan sebuah badan tertentu
yang bertugas mempromosikan serta mengatur distribusi (pesanan) komoditas
daerah tersebut, pun di daerah selainnya. Sehingga antar pemerintah daerah bisa
ada link tentang kebutuhan komoditas yang kekurangan aberlebih sehingga bisa
saling melengkapi antar satu daerah dengan daerah selainnya.
Kelembagaan Perangkat Daerah
Kerampingan Struktur
1.
Masih seringkali ditemui struktur yang gemuk,
saling tumpang tindih, yang mempunyai fungsi beririsan, sehingga kinerjanya
tidak efektif
2.
Problem ketimpangan dan distribusi tugas
SDM (pegawai)
3.
Masih banyaknya daerah yang memiliki aparatur
SDM dengan kualitas masih rendah, sekedar lulusan SMP atau SMA saja. Apalagi
untuk daerah-daerah pemekaran baru yang sering kali di dominasi oleh SDM yang
kapabilitasnya masih rendah.
4.
Problem pengangkatan, mutasi jabatan, dsb yang
masih banyak sekali ditemukan nuansa politis, seperti penggantian kepala dinas
pendidikan oleh Walikota Jawa Barat karena kepala dinas yang lama tidak
mendukung program perintahannya.
Keuangan
Rasio PAD
Untuk rasio PAD,
Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio tertinggi secara nasional, Provinsi Bali
untuk kabupaten/kota per provinsi, Jawa Timur untuk per pemerintah provinsi dan
Jawa-Bali untuk kewilayahan. Sementara itu, yang terendah secara nasional,
kabupaten/kota per provinsi, serta per pemerintah provinsi adalah adalah
Provinsi Papua Barat, sedangkan untuk per wilayah adalah Nusa
Tenggara-Maluku-Papua. Posisi tertinggi dan terendah rasio transfer umumnya
berkebalikan dengan posisi provinsi yang bersangkutan pada rasio PAD. Artinya,
provinsi yang tertinggi untuk rasio PAD merupakan rasio terendah untuk rasio
transfer dan demikian pula sebaliknya.
Rasio Belanja
Daerah
Hasil analisis
menunjukkan bahwa untuk belanja pegawai, Provinsi DIY memiliki rasio tertinggi
untuk total pemda per provinsi dan kabupaten/kota per provinsi. Sementara itu,
rasio belanja pegawai terendah untuk seluruh pemda per provinsi dan pemerintah
provinsi adalah Provinsi Papua Barat, sedangkan untuk daerah kabupaten/kota per
provinsi yang terendah adalah Kalimantan Timur. Hal yang hampir serupa terjadi
untuk rasio belanja pegawai tidak langsung. Hal ini wajar, karena secara
rata-rata porsi belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja pegawai
total relatif hampir seragam di seluruh daerah. Sebagaimana patut diduga,
kondisi berkebalikan terjadi untuk rasio belanja modal. DIY memiliki rasio
terendah untuk rasio belanja modal, sedangkan Kalimantan Timur merupakan yang
tertinggi. Untuk rasio belanja per kapita, Papua Barat dan Jawa Barat merupakan
yang memiliki rasio tertinggi dan terendah dalam agregat per provinsi. Sementara
berdasarkan pembagian wilayah, rasio di Kalimantan merupakan yang tertinggi,
dan Jawa-Bali (tidak termasuk DKI) adalah yang terendah.
Surplus, Defisit
dan pembiayaan daerah
Dari analisis di
sisi bellow the line ini ternyata terdapat beberapa hal yang perlu
dicermati. Salah satunya adalah adanya beberapa daerah yang menganggarkan
defisit namun anggaran pembiayaannya tidak mencukupi untuk menutup defisit
tersebut. Paling tidak terdapat 20 kabupaten/kota yang mengalami kejadian ini.
Hal ini menunjukkan tidak sehatnya APBD mereka, karena dengan demikian belanja
menjadi tidak jelas sumber pendanaannya. Sebaliknya, kondisi yang berlawanan
juga terjadi dimana terdapat beberapa daerah yang menganggarkan surplus
penerimaan (yang berarti terjadi selisih positif antara defisit/surplus dengan
netto pembiayaan). Hal ini menunjukkan bahwa daerah-daerah tersebut memang
mentargetkan SiLPA mereka. Terlepas dari apapun tujuan target SiLPA, namun hal
ini tidak layak dilakukan dalam pola pengelolaan keuangan yang sehat, karena
akan menimbulkan tidak efisiennya penggunaan budget untuk membiayai peningkatan
kesejahteraan masyarakat, serta mendorong munculnya dana yang off budget.
Di samping itu, hal ini kemungkinan dapat juga disebabkan oleh ketidakmampuan
SDM pengelola keuangan daerah dalam melakukan perencanaan anggaran.
Rekomendasi Keuangan
1. Dari penjelasan diatas, dapat
disimpulkan bahwa managemen keuangan dibeberapa daerah di Indonesia memiliki
permasalahan yang berbeda-beda. Adanya kekurangan dalam managemen keuangan
daerah tersebut disebabkan oleh beberapa factor, dan menurut kami, factor yang
paling berpengaruh adalah SDM yang menangani keuangan di masing-masing daerah
belum cukup capable untuk menciptakan daerah yang mandiri, meskipun setiap
daerah memiliki potensi keungan yang berbeda-beda. Namun jika di masing-masing
daerah memiliki badan keuangan yang bisa mengelolah keuangan daerah dalam hal
APBN, PAD, ataupun TA dengan memanagemen keseluruhan proses tersebut sehingga
dalam anggaran dan realisasi keuangannya tidak ada kekurangan dan sebisa
mungkin surplus.
2.
Rekomendasi
lain yang mungkin bisa kami berikan untuk masalah keuangan adalah peran serta
pusat untuk managemen keuangan daerah, dimana masing-masing daerah memiliki
perbedaan dalam hal SDM, sumber ekonomi daerah, dan juga daya beli masyarakat
di masing-masing daerah yang ini menyebabkan ketimpangan antar daerah dalam hal
pendapatan daerah. Untuk itu, pemerintah pusat seharusnya juga berperan serta
pada daerah-daerah yang kemandirian dalam ekonominya masih rendah. Peran serta
pusat pada daerah tidak harus dengan memberikan anggaran Negara yang lebih
untuk daerah dengan pemerataan ekonomi, tetapi bisa juga dengan memberikan
suntikan SDM yang bisa mengatur kestabilan keuangan daerah.
3.
Berdasarkan total pagu belanja negara di APBN
2011 senilai Rp 1.229,6 triliun, sebagian besar sudah teralokasi untuk mendanai
kegiatan belanja yang sifatnya mengikat. Seperti, untuk transfer ke daerah
senilai Rp 393 triliun, bayar bunga dan utang pokok sebesar Rp 115 triliun,
subsidi sebesar Rp 188 triliun, dana pendidikan Rp 240 triliun, dan bantuan
sosial sebesar Rp 63 triliun.
Untuk mendorong peluang mengejar
keterlambatan pertumbuhan ekonomi bisa dengan menambah anggaran dengan membuat
suatu kegiatan yang memiliki nilai tambah seperti pelayanan dasar
masyarakat, infrastruktur, dan menciptakan konektivitas.
4.
Dan
berikut penjelasan dari Staf Khusus Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional Dedy Masykur Riyadi
mengenai beberapa hal yang diperlukan untuk mendorong peningkatan pendapatan
daerah :
a.
Ke
depan dana transfer daerah harus lebih diawasi penggunaannya. Seperti, dengan
memberikan reward and punishment bagi dana yang dapat memberikan nilai
tambah. Menurut dia, dengan
dibesarkan belanja modalnya dibandingkan belanja pegawai, maka nantinya akan bisa
diarahkan ke pengembangan infrastruktur, pengembangan pertanian, dan
memperbanyak aset untuk tingkatkan kapasitas.
b.
Yang
membuat angaran tidak efisien karena banyak pemekaran dan banyak daerah yang
tidak memiliki sumber daya dan pendapatan sendiri untuk membiayai belanja
daerah.
c.
Besarnya
dana transfer daerah yang setiap tahun bertambah seharusnya bisa memacu
pertumbuhan ekonomi secara nasional. Namun, sejauh ini belum mempunyai
sumbangsih terhadap perekonomian nasional.
Demokrasi dan Konflik Daerah
1.
Polarisasi atau Fragmentasi di tingkat Grassroot
76 daerah dari 226
daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada sangat berpotensi terjadi konflik
karena berbagai sebab (Depdagri). Gejala munculnya polarisasi dan fragmentasi
di tingkat grassroot akibat dari adanya kecenderungan preferensi
emosional dan primordial. Kondisi tadi dapat mempengaruhi stabilitas di daerah
dan pada gilirannya dapat pula mengancam keberlangsungan pembangunan sosial
ekonomi daerah.
2.
Money Politic semakin marak menyentuh hingga
masyarakat bawah
Unanswered question: Dapatkan Pilkada menekan money
politics? Masih kurangnya Calon Independen baru sebagai salah satu peserta pemilu, dan
calon independent ini hanya sebatas
putusan judicial review MK, shg rakyat hanya memiliki “hak pilih” di
dominasi dari calon-calon yg
telah ditentukan oleh partai politik. Parpol masih tetap menjadi “mesin
politik” utama menuju kekuasaan. Dimana uang masih dijadikan sebagai
salah satu sumber kekuasan paling penting dan berpengaruh oleh Parpol terhadap
masyarakat kalangan bawah terutama. Peran inilah yang akan menjadi medan magnet terjadinya money politics.
Ada kecenderungan money politics ini lebih menyebar dan menjangkau
langsung kepada masyarakat. Logikanya, money politics akan mengikuti
dimana “suara” berada.
3.
Netralitas Birokrasi
Netralitas Birokrasi pun pada realitas pilkada masihlah sangat rendah,
masih adanya kecenderungan dari birokrasi berpihak pada incumbent, karena
sebagai mantan atasan dan juga ada kedekatan bahkan politisasi yang dilakukan
oleh calon incumbent terhadap birokrasi membuat ikatan birokrat kepada
incumbent jauh lebih kuat.
Rekomendasi Demokrasi dan Konflik Daerah
Dari contoh diatas (GAM), konflik
daerah sering kali terjadi di Indonesia, hal ini juga disebabkan oleh pemerintah
pusat yang tidak banyak memberikan pemecahan masalah terhadap daerah. Dan
pemerintah daerah pun tidak sepenuhnya bisa mengatasi problematika yang ada
didaerahnya (sehingga bisa terjadi gerakan semacam itu). Dan yang mungkin bisa
dilakukan oleh pemerintah pusat dalam menangani daerah adalah dengan
menyesuaikan kemampuan/kapabilitas yang dimiliki oleh SDM yang ada di
masing-masing daerah, semisal ketika tidak ada SDM yang mumpuni untuk mengatasi
dan memanajemen daerah tersebut, maka pemerintahannya langsung dipegang oleh
pemerintah pusat. Selain itu, factor kemapaman ekonomi dari setiap daerah juga
butuh diperhitungkan, karena ekonomi merupakan hal yang paling sering menjadi
sumber masalah/konflik.
Dalam penanganan permasalahan
konflik yang terjadi, pemerintah pusat juga harusnya memberikan pemecahan
masalah yang sifatnya bukan parsial (setengah-setengah), tapi juga hingga
benar-benar bisa selesai permasalahan tersebut dan menjamin konflik daerah
tidak akan terjadi lagi.
Akuntabilitas dan Korupsi
Evaluasi yang kami dapatkan,
- Tidak adanya payung hukum yang kuat untuk menilai permasalahan Akuntabilitas. Selama ini yang menjadi Umbrella Act Akuntabilitas adalah RUU tentang Konsep & Kebijakan dan Inpres No. 7/1999 yang sifatnya masih add hock. Sehingga sangat rendah tidak kuatnya ikatan dari hukum ini.
- Tidak adanya pengaturan tentang Sanksi, baik permasalahan moral, administrasi dan pidana
- Terjadi tumpang tindih dengan RUU Administrasi Pemerintahan, dan overlap dalam penerapan RUU Akuntabilitas, misalnya antara KON / KOD, Badan Peradilan, atau Instansi Pemerintah (upaya administratif).
- Tidak jelasnya tupoksi lembaga dalam menjabarkan visi, tujuan dan indikator kinerja organisasi.
- Lemahnya komitmen aparat dalam membuat laporan akuntabilitas dan Belum terbangunnya etika pemerintahan terhadap pertanggungjawaban dan hak publik.
- Belum memadainya kesadaran masyarakat untuk sebagai pressure group dalam mendorong implementasi akuntabilitas oleh penyelenggara negara.
- Tidak adanya SOP penyelenggaraan urusan pemerintahan à SPM.
- Tidak jelasnya Mekanisme pertanggungjawaban, baik laporan berkala (triwulan, semester, tahun, 5 tahun, akhir jabatan).
- Minimnya sistem pemantauan & pengawasan kinerja.
- Tidak adanya Mekanisme reward and punishment.
Studi Empiris (Data kuantitatif)
tentang Akuntabilitas[6]
Korupsi ternyata masih menjadi masalah paling utama bagi para pelaku
bisnis dalam menjalankan usaha di Indonesia. Hal ini terlihat dalam survei
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia, dimana korupsi menjadi masalah paling utama
dalam menjalankan usaha di Indonesia, mengalahkan infrastruktur yang tidak
memadai, birokrasi yang tidak efisien, dan ketidak stabilan politik. Survei IPK
Indonesia juga menunjukkan bahwa bagi kalangan usaha, lembaga kepolisian,
pajak, dan pengadilan serta kejaksaan merupakan lembaga-lembaga publik yang
perlu menjadi prioritas dalam pemberantasan korupsi.
Dalam situasi pemberantasan korupsi di Indonesia yang tidak jelas arah
strateginya ini, nampaknya kehadiran instrumen pengukuran yang bisa dipertanggungjawabkan
metodenya, bisa memberikan arah dalam menyusun skala prioritas pencegahan maupun penindakan korupsi. Setelah
Transparency International meluncurkan Corruption Perception Index (CPI), dan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan hasil Survei Integritas 2010,
Transparency International-Indonesia (TI-Indonesia) menyampaikan pada publik
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK Indonesia).
IPK Indonesia adalah instrumen pengukuran tingkat korupsi di kota-kota
Indonesia. IPK Indonesia dibuat berdasarkan survei yang metodenya dikembangkan
oleh TI-Indonesia. Survei dilakukan dengan cara wawancara tatap muka terhadap
9237 responden pelaku bisnis, antara bulan Mei sampai dengan Oktober 2010. IPK
Indonesia mengukur tingkat korupsi di 50 kota di seluruh Indonesia, meliputi 33
ibukota propinsi ditambah 17 kota lain yang signifikan secara ekonomi. Rentang
indeks antara 0 sampai 10. 0 berarti dipersepsikan sangat korup, 10 sangat
bersih. TII menyasar responden pelaku bisnis. Para pelaku bisnis dibagi menjadi
3 kategori yakni perusahaan besar (22 persen), menengah (40 persen), kecil (38
persen).
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Kota
Jakarta hanya 4,43. Berdasarkan survei Transparency International Indonesia
(TII) dari skala 0-10 nilai Jakarta masih di bawah standar. Jakarta belum bebas
dari korupsi, malah jauh dari angka sempurna. Kota Denpasar mendapat skor
tertinggi (6,71) disusul Tegal (6,26), Solo, (6,00), Yogyakarta dan Manokwari
(5,81). Sedang dua kota yang mendapat poin terendah yakni Cirebon (3,61) dan
Pekanbaru (3,61). Kota Jakarta
berada di peringkat 38 dari 50 kota yang dinilai.
Kota-kota dengan skor tertinggi mengindikasikan bahwa para pelaku bisnis
di sana menilai korupsi mulai menjadi hal yang kurang lazim terjadi, dan usaha
pemerintah dan penegak hukum di sana dalam pemberantasan korupsi cukup serius.
Sebaliknya, korupsi masih lazim terjadi dalam sektor-sektor publik, sementara
pemerintah daerah dan penegak hukum kurang serius dalam pemberantasan korupsi,
menurut persepsi para pelaku bisnis di kota-kota yang mendapat skor rendah
Untuk Kota Denpasar, skor IPK Indonesia 2010 sejalan dengan hasil Survei
Integritas Pelayanan Publik 2009 yang dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi,
yang menempatkan Denpasar sebagai salah satu kota dengan skor terbaik. Kota
Solo dan Jogjakarta memang saat ini sedang menunjukkan prestasi di bidang
reformasi birokrasi yang terefleksi dari skor IPK Indonesia yang cukup tinggi.
Hal ini sejalan dengan prestasi kedua kota yang baru-baru ini juga mendapatkan
Bung Hatta Anti Corruption Award. Sementara di kota dengan skor terendah,
Pekanbaru dan Cirebon, pemberitaan media lokal maupun nasional memang dipenuhi
oleh kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh aparat di sana (infokorupsi.com).
Hal ini tentunya sangat mempengaruhi persepsi para pelaku bisnis di sana.
IPK Indonesia nampaknya juga sangat berpengaruh sebagai efek “cambuk”
bagi pemerintah daerah kota yang mendapatkan skor rendah. Sebagai contoh Kota
Tegal dan Kupang, yang pada tahun 2008 mendapatkan skor rendah, selama satu
tahun ini menunjukkan inisiatif-inisiatif reformasi birokrasi yang berdampak
pada meningkatnya skor kedua kota ini secara signifikan. Kota lain yang
menunjukkan peningkatan skor yang signifikan dari 2008 ke 2010 adalah
Manokwari, Kendari, dan Manado.
Sajian data di atas menunjukkan bahwa tingkat akuntabilitas sebagian
besar pemerintah daerah di Indonesia masih rendah. Tingginya angka korupsi
menunjukkan bahwa mekanisme kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah
sangat rendah. Sehingga perbaikan sistem kontrol terhadap penyelenggaraan
pemerintah daerah harus dilakukan.
Rekomendasi Akuntabilitas dan Korupsi
o
Penyusunan sistem kontrol dan payung hukumnya
terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah sehingga terjadi check and balance
yang baik. Hal ini dilakukan untuk memperkecil peluang korupsi, memperbaiki
akuntabilitas dan pelayanan publik yang dilakukan pemerintah
o
Membangun budaya birokrasi yang baik
[1]
Barita P. M. Siahaan. 2009. Perkembangan
Pemekaran Daerah,.
[2]
Deskripsi dan Analisis APBD 2011,
Kementerian Keuangan RI, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
[3]
ibid
[4]
ibid
[5]
ibid
[6]
Source:
www.ti.or.id
[1]
Slide Perkuliahan Ilmu Pemerintahan.2012.Andi Suwarko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar