Selamat Datang di Dunia Srikandi...........

Ide segar berbalut semangat revolusioner.......
semoga dapat menghilangkan dahaga....... ^^

Sabtu, 24 Maret 2012

Masyarakat Badui Dalam pun Tersentuh oleh Perubahan Sosial

Abstract
Kajian tentang perubahan sosial pada masyarakat Baduy sebagai salah satu suku terasing di Indonesia masih sangat jarang, Hal itu lebih disebabkan karena masyarakat Baduy merupakan salah satu kelompok suku terasing di Indonesia yang mempunyai kesan tersendiri, Pendiriannya yang keras tapi tidak pernah merepotkan orang lain dalam keadaan bagaimanapun. Bagi masyarakat Baduy, larangan sudah menjadi pagar tradisi yang kokoh untuk taat pada pikukuh aturan. Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin “Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.” (Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung). Disini penulis berusaha mengungkapkan, bahwa seperti suatu kelompok masyarakat pada umumnya, Masyarakat Baduy yang sangat terisolir dan menolak terhadap adanya perubahan karena pikukuh konsep tanpa perubahan apapun, mau tidak mau tetap saja tersentuh pula oleh berbagai Perubahan.
A.    Pendahuluan
Sejumlah tulisan tentang kehidupan masyarakat Baduy telah banyak dilakukan, tetapi umumnya lebih berkaitan dengan  kekhasan masyarakat Baduy itu sendiri, seperti sistem sosial, organisasi sosial, kepemimpinan, lembaga adat, sistem pemerintahan adat, upacara, religi, dan sistem pengetahuan dan berbagai karakteristik lain yang memberikan kesan tersendiri bagi masyarakat di luar Baduy.
Terdorong oleh hal itu, tulisan ini bertujuan menggambarkan sisi lain masyarakat Baduy yaitu tentang perubahan sosial dan kebudayaannya, sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam lingkungan hidup mereka, baik lingkungan alam dan fisiknya maupun lingkungan sosialnya. Penulis ingin membuktikan keuniversalan teori perubahan sosial bahwasanya meskipun masyarakat desa memiliki karakteristik khas sulit menerima perubahan atau  mengadakan perubahan karena hidupnya yang terisolir dan pandangannya yang sempit terhadap hidup dan masa depan. Penulis mengambil objek tulisan Masyarakat Baduy dalam tema ini dikarenakan konsep kepercayaan masyarakat baduy yang begitu kental menolak akan adanya perubahan, bentuk konkritnya hingga saat ini mereka masih mematuhi hukum adat dengan kukuh, larangan menggunakan teknologi, alas kaki, listrik, bahkan penolakan mereka terhadap sarana-sarana pendidikan dan kesehatan yang ditrawarkan oleh pemerintah, menjadi bukti konkrit keteguhan mereka memegang kukuh nilai-nilai adatnya, dengan nilai lojor henteu beunang dipotong, pendek henteu benang disambung ini apakah tetap mampu membuat Masyarakat Baduy terlepas dari yang namanya perubahan.
Sekecil apapun perubahan yang terjadi, baik perubahan lingkungan alam/fisik maupun perubahan sosial menuntut adanya adaptasi dari masyarakat Baduy terhadap lingkungannya yang baru dan perubahan tersebut langsung atau tidak langsung menuntut adanya perubahan kebudayaan masyarakat baduy tersebut. Sementara perubahan itu sendiri bisa diakibatkan oleh adanya turut campur pemerintah dalam mengatur tata kehidupan mereka, yaitu dalam bentuk memukimkan kembali dalam tempat-tempat pemukiman khusus untuk mereka. Perubahan juga bisa disebabkan oleh lebih seringnya kontak dengan golongan-golongan sosial atau suku-suku bangsa lainnya, atau karena masuknya teknologi modern, sekolah, agama serta media massa modern. hal inilah yang akan menjadi pembahasan tulisan dari penulis.  
B.    Gambaran Masyarakat Kanekes (Baduy)

Etimologi

Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain Nama Baduy ini diambil dari nama sungai yang melewati wilayah ini, yaitu adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).

Wilayah

Untuk mencapai ke lokasi pemukiman, hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki melalui jalan setapak tanpa pengerasan. Masyarakat Baduy menempati wilayah seluas 5.101,8 hektar berupa hak ulayat yang diberikan oleh pemerintah.Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” - 6°30’0” LS dan 108°3’9” - 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 - 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20 °C. Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik, CIkertawana, dan Cibeo.

Asal-usul


Delegasi Kanekes sekitar tahun 1920
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.

Mata pencaharian

Orang Baduy tidak terpisahkan dari padi yang dilambangkan sebagai Nyi Pohaci Sanghyang Asri yang harus ditanam  menurut ketentuan-ketentuan karuhun, yaitu seperti bagaimana nenek motyang mereka menanam padi. Padi ditanam di lahan kering, huma yang berada di luar dan di dalam desa, kecuali tidak boleh ditanam di hutan larangan yang berupa hutan tua di wilayah baduy dalam. Dengan fokus penanaman padi di ladang sekali musim tiap tahun, mata pencarian Baduy merupakan salah satu bentuk subsisten yang tua usianya, mungkin sejak padi dikenal di Jawa Barat. Padi tidak boleh dijual, ketentuan ini berlaku bagi seluruh orang Baduy. Tetapi hasil hutan seperti buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan. Dan jenis tanaman ladang lainnya boleh dijual untuk mendapatkan uang pembeli benang katun, ikan asin, garam, rokok, dan tembakau.
Jenis mata pencaharian yang relatif baru kira-kira baru berkembang 10 tahun terakhir adalah berdagang pakaian, rokok, dan hasil hutan serta huma yang dilakukan terutama oleh orang baduy luar, selain berdagang orang-orang baduy luar pun juga mengolah air nira menjadi gula kawung, menjadi buruh tani dan berhuma diluar kanekes, serta menangkap ikan.
C.    Tatanan Masyarakat dan Kebudayaannya
Masyarakat Baduy dalam hidupnya mengasingkan diri dari keramaian dan tidak mau tersentuh oleh kegiatan pembangunan.Wilayah Baduy Dalam, di mana mereka tinggal ada di pedalaman hutan, masih terisolir, dan belum terusik dengan kebudayaan luar. Kebudayaan mereka masih asli, sehingga sulit bagi masyarakat lainnya untuk bisa masuk apalagi tinggal bersama suku Baduy Dalam. Peraturan yang tetap dipegang teguh hingga kini diantaranya bagi warganya adalah tidak menggunakan kendaraan jenis apapun untuk sarana transportasi, tidak memakai alas kaki, tidak menggunakan alat elektronik (teknologi), hanya mengenakan pakaian berwarna hitam/ putih yang ditenun dan dijahit sendiri, dan semua hal yang berkaitan dengan "kembali ke alam". Di perkampungan Baduy tidak ada listrik, tidak ada pengerasan jalan, tidak ada fasilitas pendidikan formal, tidak ada fasilitas kesehatan, tidak ada sarana transportasi, dan kondisi pemukiman penduduknya sangat sederhana.  Aturan adat melarang warganya untuk menerima modernisasi pembangunan.
Pola kehidupan masyarakat Baduy sangat ditentukan oleh aturan-aturan dan norma-norma  yang berperanan penting dalam proses kehidupan sosial mereka, yang membentuk homogenitas prilaku dan sosial ekonomi masyarakatnya.  Hikmahnya agar mereka mampu memperkokoh benteng kehidupan anak turunan, menjalin tatanan hidup yang terus berkesinambungan dan dominan.  Aturan dan norma itu dijabarkan dalam suatu hukum adat, yang berperan sebagai alat pengayom bagi seluruh warga sehingga mampu menggiring semua warganya kepada tertib hukum, untuk mampu mematuhi hak dan kewajibannya. 

Kepercayaan

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.

Bahasa

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda-Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidupmereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.

Kelompok masyarakat

Orang Kanekes masih memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka
Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing (non WNI)
Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
  • Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
  • Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
  • Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
  • Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
  • Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.
Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
  • Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
  • Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
  • Menikah dengan anggota Kanekes Luar
Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar
  • Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar. Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam.
  • Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
  • Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
  • Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
  • Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.

Pemerintahan

Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".
Struktur pemerintahan Kanekes
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapu'unan (kepu'unan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung.

Hukum di didalam Masyarakat Baduy

Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan.
Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.
menariknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota.
Banyak larangan yang diatur dalam hukum adat Baduy, di antaranya tidak boleh bersekolah, dilarang memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian dengan naik kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga mewah dan beristri lebih dari satu.
Dari segi berpakain, didalam suku baduy terdapat berbedaan dalam berbusana yang didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.Untuk Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih. Untuk bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Serta pada bagian kepala suku baduy menggunakan ikat kepala berwarna putih. bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Terlihat dari warna, model ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar. Sedangkan, untuk busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam maupun Baduy Luar tidak terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup.
Di dalam proses pernikahan pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran. Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal
D.   Perubahan danKelestarian Nilai-Nilai Tradisional Masyarakat Baduy
Setiap masyarakat manusia selama hisup pasti mengalami perubahan. Karena tidak ada suatu masyarakat pun yang berhenti pada suatu titik tertentu sepanjang masa. Arus perubahan ini setiap saat melandasi masyarakat yang seringkali menimbulkan proses perubahan yang berlangsung secara drastis dan menyeluruh. Hal ini akan nampak dari akibat suatu peristiwa revolusi. Namun proses perubahan juga dapat berjalan sangat lambat dan memakan waktu yang relatif lama (evolusi).
Selanjutnya perubahan dapat menyangkut tentang berbagai hal, perubahan fisikal oleh proses alami dan prubahan kehidupan manusia oelh dinamika kehidupan itu sendiri. Perubahan yang menyangkut kehidupan manusia, atau terkait dengan lingkungan kehidupannya yang berupa fisik, alam, dan sosial disebut perubahan sosial.
Teori-teori perubahan sosial mulai berkembang sejak awal abad ke 19. Pada kurun waktu tersebut banyak ahli yang mengemukakan pemikirannnya. Sesuai dengan latar belakang mereka, maka makna perubahan sosial pun sangat bervariasi. Menurut Moore dalam Garna perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku sosial, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan kewenangan, interaksi sosial dan sebagainya. Perubahan sebagai proses dapat menunjukkan perubahan sosial dan perubahan kebudayaan atau berlaku kedua-duanya pada suatu runtutan proses itu. Merujuk pendapat Lauer dalam Garna, perubahan sosial adalah suatu konsep inklusif yang menunjuk kepada perubahan sosial berbagai tingkat kehidupan manusia. Dari mulai individual sampai global. Perubahan pada setiap tingkat kehidupan itu lebih tepat dianggap sebagai perubahan sosial. Hal ini perubahan yang kecil pun atau perubahan unsur sosial tertentu dapat dikatakan perubahan sosial.
1.      Faktor-faktor penyebab perubahan sosial
Menurut Riyanto (1990;97-98), secara garis besar ada dua faktor penyebab perubahan sosial, yaitu sebab-sebab yang bersumber dalam masyarakat sendiri dan dari luar masyarakat bersangkutan.
Sebab-sebab yang bersumber dari masyarakat sendiri ialah:
a.       Bertambah atau berkurangnya penduduk
b.       Rekaan atau penemuan baru
c.       Pertentangan dalam masyarakat
d.       Terjadi pemberontakan atau revolusi di dalam masyarakat tersebut
Sebab-sebab yang bersumber dari luar masyarakat ialah:
a.       Lingkungan alam fisik di sekitar manusia
b.       Peperangan dengan negara lain’
c.       Pengaruh kebudayaan masyarakat lain bisa berupa asimilasi atau akulturasi, difusi dan paksaan
2.      Teori Struktural Fungsional Talcott parson
Karya awal dari Parsons sebenarnya dimulai dnegan analisis tindakan individu baru kemudian bergeser pada analisis sistem sosial yang bersifat struktural fungsional.
Ruth mengemukakan bahwa dalam menjelaskan teorinya, Parsons membagi 4 sistem yaitu sistem budaya, sistem sosial, sistem keperibadian, sistem organisme tingkah laku.
Agar suatu sistem sosial dapat dipertahankan fungsinya dan mampu memenuhi kebutuhan Individu, Parsons mengemukakan empat syarat fungsional yang disebut dengan model AGIL, yaitu:
a.       Adaptation, menunjukkan pada keharusan bagi sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya. Disini ada dua dimensi permasalahan , pertama harus ada penyesuaian dari sistem terhadap tuntutan kenyetaan yang keras yang tidak dapat diubah yang datang dari lingkungan, kedua ada proses transformasi aktif dari situasi itu.
b.       Goal Attainment, merupakan persyaratan fungsional yang berupa tindakan-tindakan yang diarahkan pada tujuan-tujuan yakni tujuan bersama para anggotanya dalam suatu sistem sosial
c.       Integration, merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interrelasi antar anggota dalam sistem sosial itu
d.       Latent Pattern Maintannace, konsep latensi menunjukkan pada berhentinya interaksi
Model sibernika Parsons mengajukan teori evolusioner yang menjelaskan gerakan masyarakat primitif ke modern melalui empat prose perubahan struktural utama, yaitu diferensiasi, pembaharuan itu bersifat penyesuaian (adaptif upgrading), pemasukan (inklusi), dan generalisasi nilai-nilai. Adapun proses differensiasi struktural dan perkembangan-perkembangan yang berkaitan dengan mempengaruhinya proses evolusi seperti munculnya sistem stratifikasi sosial, organisasi birokratis, sistem uang, jaringan pasar impersonal, dan pola-pola asosiasi demokratis disebut universal evolusioner, yang berperan meningkatakan kemmapuan masyarakat dlam adaptasi mereka.
Pola evolusi masyarakat menurut Parsons secara historis melalui tahap-tahap “primitif”, intermediate, dan modern”
Parsons menolak anggapan lama yang menyatakan bahwa masyarakat akan mengalami perubahan dan pengmbangan dalam bentuk yang seragam. Tapi cenderung mengatakan bahwa sejarah perkembangan masnusia emmperlihatkan suatu perubahan evolusioner yang menuju kepada peningkatan adaptive capacity.
3.       Perubahan Sosial dan Kebudayaan Masyarakat Baduy
Masyarakat Baduy adalah masyarakat yang kuat memegang tradisi nenek moyang dimana seluruh sistem sosialnya bersumber pada sistem kepercayaan atau religinya, yang menyebabkan masyarakat tersebut mengalami perubahan yang sangat lambat bahkan dikatagorikan ke dalam perubahan statis, Sampai sekarang terlihat pola kehidupan yang sangat berbeda dengan masyarakat luar pada umumnya. 
Masyarakat baduy sebgai masyarakat tradisional dapat dikatakan sebagai masyarakat yang sedang berkembang. Karena tidak saja perubahan yang berlangsung di dalamnya, juga ketaatan terhadap pikukuhnya mengalamai proses pergeseran. Perubahan itu akan tampak dari pola pikir, cara bertindak, pemilikan barang organisasi sosial yang sebelumnya tidak dikenal dalam kehidupan mereka. Sejumlah warga masyarakat Baduy sengaja keluar dari desa kanekes untuk melonggarkan ikatan pikukuhnya, mereka lalu bermukim di desa-desa sekitarnya.
Pemindahan tempat bermukim itu mendapat dukungan pemerintah dalam satu program Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing. Proyek pemukiman masyarakat Baduy ini terus berlanjut sebagai program departemen sosial di dukung oleh PEMDA dan sejumlah warga masyarakat biasa yang bermukim di desa sekitar Kanekes.
Perubahan sosial sekelompok masyarakt Baduy pada hakekatnya merupakan keinginan paling mendasar setiap manusia untuk berkembang sesuai dnegan kebutuhan hidup mereka. Karena itu perubahan suatu masyrakat sebenarnya tergantung kepada masyarakat itu sendiri, apalagi menyangkut kebutuhan hidup yang lebih baik dari sebelumnya. Tapi segala perubahan yang telah dilakukan harus diimbangi pula oleh pola pikir, sikap dan tindakan terhadap kondisi yang berubah agar dapat menyesuaikan diri dengan kondisi baru. Hal ini sesuai dnegan bagian pertama dari konsep AGIL (adaptation) menurut pendapat Parsons di atas.
 Peningkatan jumlah penduduk yang mengakibatkan berkurangnya luas kepemilikan lahan pertanian setiap keluarga, selalu menjadi perhatian ketua adat. Masyarakat Baduy-Luar yang sudah tidak memiliki lahan pertanian di dalam wilayah Baduy diharuskan mengolah lahan di luar wilayah, sedangkan masyarakat Baduy-Dalam mulai memperpendek masa bera lahannya. Perubahan penentuan masa bera lahan pertanian yang semula 7 tahun ke atas, sekarang hanya 5 tahun bahkan 3 tahun merupakan salah satu indikator terjadinya perubahan itu.  Ketua adat Baduy selalu mengingatkan kepada seluruh warganya untuk tidak membuka lahan hutan menjadi lahan pertanian.  Musyawarah tentang larangan membuka hutan selalu disampaikan setiap tiga bulan sekali yang dihadiri oleh seluruh kepala kampung Baduy.  Pertemuan rutinan itu dilanjutkan dengan pemeriksaan seluruh batas kawasan hutan Baduy untuk melihat kondisi hutannya dan mengingatkan tentang batas-batas kawasan hutan kepada seluruh warga Baduy.
Bertambahnya jumlah penduduk juga meningkatkan kebutuhan kayu pertukangan untuk membuat rumah.  Satu rumah untuk keluarga Baduy rata-rata membutuhkan 300 batang kayu tiang (10 cm x 10 cm x 3 m), 150 batang kayu papan (10 cm x 2,5 cm x 3 m), 30 lembar bilik bambu (2,7 m x 3 m), 600 lembar atap daun kirai, dan 30 batang bambu untuk lantainya (palupuh).  Bahan untuk membuat atap rumah, bilik, dan lantai tidak menjadi permasalahan karena jumlahnya melimpah dan mudah untuk dibudidayakan.  Kebutuhan akan kayu pertukangan yang menjadi masalah dalam membuat rumah.  Awalnya kebutuhan kayu pertukangan dapat diperoleh dari ladangnya yang sudah di-bera-kan lebih dari 10 tahun.  Ladang yang di-bera-kan lebih dari 10 tahun akan menghasilkan jenis-jenis kayu yang dapat digunakan untuk tiang seperti kayu kecapi, kihiang, dan sebagainya.  Namun, dengan perubahan masa bera menjadi 5 tahun, jenis-jenis kayu tersebut belum layak untuk dijadikan tiang.  Untuk mengatasi hal tersebut, aturan adat yang semula melarang menanam tanaman kayu di ladang berangsur-angsur mulai mengendur.  Dalam lima belas tahun terakhir ini, masyarakat Baduy-Luar diperbolehkan menanam tanaman kayu di ladangnya.  Jenis tanaman kayu yang ditanam masyarakat Baduy-Luar di ladangnya diantaranya adalah sengon, mahoni, kayu afrika, sungkai, aren, dan mindi.  Tanaman kayu tersebut akan ditebang pada saat akhir masa bera.  Kayu hasil penebangannya ada yang dipakai sendiri dan ada pula yang sebagian dijual ke masyarakat luar.  Dari sisi konservasi, penanaman jenis-jenis tanaman kayu selama menunggu masa bera dapat meningkatkan kesuburan tanah dan sekaligus melindungi tanah dan lahannya dari erosi; sedangkan dari segi ekonomi akan meningkatkan pendapatan petani dan sekaligus mengatasi masalah kekurangan kayu.  Saat ini, seluruh lahan yang dikelola oleh masyarakat Baduy-Luar ditanami tanaman kayu yang penanamannya dilakukan bersamaan pada saat menanam padi.  Untuk di Baduy-Dalam, penanaman jenis tanaman kayu di ladang tetap dilarang; hanya saja masyarakat diperbolehkan mengambil kayu di hutan dengan batasan diameter yang boleh ditebang tidak lebih dari 20 cm.
Interaksi dengan masyarakat luar baduy, Saat ini terlihat perbedaan yang jelas pada kehidupan masyarakat Baduy-Luar dan Baduy-Dalam.  Perubahan status masyarakat telah terjadi pada kehidupan masyarakat Baduy.  Awalnya semua masyarakat Baduy harus ikut bertapa menjaga alam lingkungannya; sekarang ini hanya Baduy-Dalam yang tugasnya bertapa, Masyarakat Baduy-Luar tugasnya hanya ikut menjaga dan membantu tapanya orang Baduy-Dalam. Masyarakat Baduy-Luar mulai diperbolehkan mencari lahan garapan ladang di luar wilayah Baduy dengan cara menyewa tanah, bagi hasil, atau membeli tanah masyarakat luar.  Untuk menambah pendapatannya pada lahan mereka di luar Baduy, diperbolehkan ditanami beberapa jenis tanaman perkebunan seperti cengkeh, kopi, kakao, dan karet yang di wilayah Baduy dilarang.  Hubungan yang terbina karena “bisnis” sewa menyewa dan jual beli ladang, membentuk suatu interaksi yang cukup antara masyarakat Baduy dengan masyarakat luar.  Interaksi ini berdampak pada perubahan tingkah laku dan pola hidup masyarakat Baduy.  Masyarakat Baduy-Luar sudah mulai memakai baju buatan pabrik, kasur, gelas, piring, sendok, sendal jepit, blue jeans, sabun, sikat gigi, senter, dan patromaks; bahkan sudah cukup banyak masyarakat Baduy yang telah menggunakan telepon seluler.  Larangan penggunaan kamera dan video camera hanya berlaku pada masyarakat Baduy-Dalam; sedangkan pada Baduy-Luar sudah sering stasiun TV mengekspose kehidupan mereka. Beberapa masyarakat di Baduy-Luar sudah ada yang  berdagang di kampungnya masing-masing. Dalam hal kepemilikan lahan, yang semula semua lahannya milik adat, khusus di Baduy-Luar telah menjadi milik perorangan dan bisa diperjualkan sesama orang Baduy.
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Dari kesemua faktor-faktor di atas tersebut  bisa memicu perubahan sosial pada masyarakat Baduy tersebut baik itu faktor secara fisik maupun kebudayaan. Kesadaran akan nilai dan norma sosial Baduy setiap keluarga pun lambat laun bisa memudar dengan munculnya keinginan untuk mengalami kehidupan lain, begitu pula halnya dengan institusi sosial seperti gotong royong akan turut bergeser walaupun menyangkut kebutuhan masyarakat tetapi akibat perputaran imbalan jasa ke arah penggunaan materi yang sekaligus sebagai pembayaran. Hubugan yang erat antara migran baduy dengan orang baduy kanekes juga akan memberikan ide perubahan, karena mereka selalu berkomunikasi melalui saling mengunjungi dan membantu dalam tiap pekerjaan.
Perubahan sosial yang dialami “Migran Baduy” menimbulkan pertanyaan, apakah mereka telah siap untuk menghadapi kemungkinan dampak yang terjadi, termasuk kehilangan budayanya. Haruskah kebiasaan itu dibiarkan atau ditinggalkan? Karena itu yang diperlukan bagi kehidupan orang baduy ialah perubahan yang dapat meningkatkan taraf hidup mereka tanpa mengubah pikukuh Baduy sebagai tradisi dalam kehidupan mereka.
Perubahan yang dialami masyarakat baduy tidak lepas dari pengawasan pemuka adat yang selalu berusaha menentang segala bentuk perubahan yang terjadi dan berusaha mengembalikan kehidupan masyarakat yang sesuai dengan pikukuh. Dengan demikian pikukuh merupakan norma budaya yang berfungsi sebagai standar perilaku yang diharapkan dan sekaligus merupakan aturan yang harus dilakukan warga masyarakat baduy sebagai pemilik kebudayaan tersebut. Pada kenyataannya larangan tidak seutuhnya dilaksanakan, karena buyut (larangan) bagi masyrakat tangtu (baduy dalam) lebih ketat dibandingkan dengan buyut bagi masyarakat Panamping (baduy luar). Penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh beberapa anggota keluarga pada masyarakat panamping seperti penggunaan obat-obat dari luar misalnya, menunjukkan adanya keraguan dalam memilih cara hidup yang sudah berlaku (berdasarkan adat) atau melepaskannnya. Banyak mereka yang melanggar adat dengan alasan tidak diketahui Pu’un. Satu hal yang patut dicatat perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat baduy berlangsung menurut proses adaptasi dalam jangka waktu yang sangat panjang (relatif lama). Hal ini sesuai dengan pendapat Parsons yang telah dikemukakan di atas bahwa, “sejarah perkembangan umat manusia memperhatikan suatu perubahan yang evolusioner yang menuju pada peningkatan adaptive capacity.
E.    Penutup
Mayarakt Baduy adalah masyarakat yang memegang teguh tradisi dan nilai-nilai kepercayaan yang berasal dari nenek moyang mereka, di satu sisi mereka berusaha sebagaimana mungkin mengisolasi diri mereka dari perubahan dan menjauhkan diri dengan menolak perubahan yang ingin masuk ke dalam masyarakt tersebut. Namun nyatanya mereka tidak dapat menghindar dari perubahan itu sendiri, baik itu yang berasal dari dalam masyarakatnya sendiri yang mulai ingin melepaskan diri dari aturan adat mereka, pertambahan penduduk, perubahan fisik alam mereka dan semakin terbatasnya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, maupun banyaknya pengaruh dari luar seperti peran serta pemerintah dan juga interaksi dengan masyarakat luar menyebabkan perubahan dalam masyarakat baduy tidak terelakkan lagi. Seperti suatu kelompok sosial pada umumnya Baduy pun tersentuh berbagai perubahan.
DAFTAR PUSTAKA
Gana, Judistira K. 1985. Masyarakat Baduy dan Kebudayaannya. Bandung. Pusat Kajian Pengembangan Sosial Budaya
Soekanto, Soerjono, 1983. Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial, Jakarta. Ghalia Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar